Jadikan Rumah Sebagai Benteng Kokoh Kebaikan Anak
Oleh : Imam Nawawi
Tidak
sedikit orang tua yang memiliki anggapan bahwa ketika anak sekolah, selesai
urusan. Padahal, lama hidup anak di rumah jauh lebih panjang daripada di
sekolah.
Dari fakta
ini saja, sudah cukup terang bahwa orang tua tidak bisa berpangku tangan,
terutama ketika anak masih sekolah dengan pilihan sistem bukan pesantren.
Orang tua
mesti mampu menjadikan rumah sebagai tempat belajar terbaik, tempat berlatih
terbaik, dan terakhir, orang tua mesti mampu menjadikan rumah sebagai benteng
terkokoh dari kontaminasi buruk lingkungan sekitar, termasuk budaya destruktif
alat komunikasi dan informasi yang kerap disalahsikapi oleh kebanyakan
anak-anak dan orang tua masa kini.
Suatu waktu
ada orang tua mengeluhkan perihal anaknya. Anak saya kalau di rumah bagus.
Tetapi kenapa ini saya dapat laporan omongan anak saya kurang patut kala
bermain dengan teman-temannya. Setelah dicek lebih jauh, ternyata faktor
pergaulan.
“Anak saya
beda lagi. Ketika di sekolah dan di rumah baik-baik saja. Begitu bermain dan
bergaul dengan teman-temannya, pulang-pulang ada saja kosa kata buruk yang ia
bawa,” timpal seorang lagi.
Jika orang
tua melihat indikasi demikian, maka sikap tegas mesti segera diambil. Irawati
Istadi dalam buku Bunda Manajer Keluarga memberikan solusi yakni dengan
bersegera menjadikan rumah sebagai benteng yang kokoh agar anak-anak selamat
dari kontaminasi buruk lingkungan.
Caranya
adalah dengan menciptakan budaya kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai religi
dan kebenaran.
Artinya ada
upaya “tandingan” yang benar-benar dihidupkan di dalam rumah. Kalau sekedar
melarang anak bermain keluar rumah, maka sungguh ini tidak akan memberikan
kekuatan apapun kepada anak-anak untuk menangkal pengaruh negatif lingkungan.
Seperti
diakui sendiri oleh penulis buku di atas, “Saya pikir, dengan menyelamatkannya
dari pengaruh lingkungan, saya telah berbuat yang terbaik untuknya. Namun
ternyata tidak, karena selanjutnya buah hati saya tersebut menunjukkan
gejala-gejala ‘kuper’ atau kurang pergaulan.
Ya, ia
berkembang menjadi anak yang takut bertemu orang lain, tak mau keluar rumah,
disapa tetangga dengan lembut pun ia menangis ketakutan, ia cenderung
menghindar jika ada orang lain yang tidak dikenalnya dengan akrab. Akibatnya,
ia tak pernah mau saya tinggal barang sebentar pun,” (halaman: 249).
Jadi, mari
didik anak kita di sekolah, tapi jangan tidak dididik di dalam rumah. Justru
ketika di dalam rumah hidup nilai-nilai pendidikan yang sebenarnya, insya Allah
anak-anak kita tak perlu takut menghadapi tantangan negatif lingkungan. Saat
itulah anak-anak kita siap mewarnai lingkungan.Ralph Waldo Emerson mengatakan,
“Setiap buku adalah kutipan; setiap rumah adalah kutipan seluruh rimba raya dan
tambang-tambang dan bebatuan; setiap manusia adalah kutipan dari semua
leluhurnya.” Kita bisa artikan lebih jauh bahwa rumah yang bisa menjadi benteng
bagi kebaikan anak-anak, maka dunia akan tercerahkan di masa kelak mereka
tumbuh dewasa dan memimpin dunia.
Tentu saja
ini butuh proses panjang. Tetapi hal ini bisa kita mulai sekarang juga, tidak
melulu dengan nasihat berupa kalimat, lebih efektif dengan contoh nyata dalam
setiap wujud iman, amal dan taat kepada-Nya.
Penulis : Imam Nawawi, Pemimpin Redaksi Majalah
Mulia
Post a Comment