Jangan Terlalu Memforsir Anak Belajar



Oleh: Nur Muthmainnah

Anak-anak yang khususnya sudah memasuki bangku sekolah pastinya akan memiliki kewajiban untuk belajar. Namun tidak semua waktunya akan dihabiskan untuk belajar. Ada beberapa hal yang masih ingin dilakukan oleh anak-anak seperti bermain, bergaul dengan teman-teman dan masih banyak kegiatan lainnya. Sebagai orangtua, kita pastinya paham apa yang diinginkan oleh anak. Kita sebagai orangtua juga tahu kapan waktunya menyuruh anak belajar. Yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai memaksa anak untuk terus belajar karena akan berdampak kurang baik bagi anak.

Ketika anak menghabiskan terlalu banyak waktunya dengan belajar, maka dia akan mengalami burnout atau kelelahan ekstrim. Di sisi lain, ketika anak terlalu sering bermain atau bermalas-malasan, maka dia akan ketinggalan pelajaran dan prestasinya akan merosot. Bagaimana cara mengatur waktu untuk anak usia.

Anak yang terlalu diforsir untuk belajar justru akan membuat hanya sedikit pemahaman yang masuk di pikiran si anak. Hal ini disebabkan karena terlalu banyak kapasitas materi belajar yang dipikirkan di otak anak. Jadi waktu akan terbuang sia-sia bila memaksa anak untuk terus belajar. Akan jauh lebih baik jika orangtua ikut aktif membantu anak mengatur waktu belajar dan aktivitas lainnya agar jauh lebih berkualitas dan lebih teratur. Bila perlu orangtua bisa mendampingi anak ketika anak sedang belajar agar bila anak mengalami kesulitan dalam memahami materi, orangtua dapat membantunya.

Efek lain jika anak terlalu diforsir adalah stres pada anak. Stres ini muncul karena anak tidak mendapatkan keseimbangan antara melakukan kewajiban belajar dengan aktivitas lainnya seperti bermain atau hanya sekedar melakukan hobi kesukaannya. Jika stres pada anak ini terus dibiarkan, maka kemungkinan besar anak akan mudah depresi. Tentunya kita tidak ingin anak depresi bukan hanya karena keinginan kita?

Jangan pula selalu memberi hukuman jika anak tidak mau belajar. Efek dari selalu memberi hukuman pada anak ini selain muncul rasa takut dari dalam, secara perlahan anak Anda juga akan membenci kegiatan belajar. Efek yang paling serius dari pembelajaran yang seperti ini adalah gangguan kejiwaan yang mungkin akan dialami oleh si anak. Sebaiknya kita cari tahu, apa penyebab anak malas belajar. Boleh jadi memang dia sedang kurang enak badan atau ada masalah lain yang sedang dipendamnya. Orangtua harus bijak menentukan, kapan saat memberi hukuman, dan kapan saatnya untuk tidak memberi.

Dampak negatif lainnya yang terus memaksa anak untuk belajar adalah sulit bersosialisasi. Hal ini disebabkan karena kegiatan anak yang terlalu monoton. Jadi, kegiatan belajar yang terus-menerus membuat anak tidak memiliki kegiatan lainnya. Aktivitas bermainnya pun akan berkurang karena aktivitas belajar yang cenderung dilakukan secara terus-menerus?

Semestinya, orangtua dapat memberikan pola asuh yang positif pada anak dengan mengembangkan unconditional positive regards atau penerimaan tanpa syarat. Orangtua tidak perlu menetapkan standar yang banyak pada anak, sehingga anak tidak perlu menyandang banyak atribut sebagai anak pintar, juara kelas, jago ini itu, dan lain sebagainya untuk dapat memperoleh kasih sayang, perhatian, serta pujian dari orangtua," papar Analisa.

Dengan demikian, anak tidak mendapatkan tuntutan yang berlebih dari kedua orangtuanya. Orangtua justru mengarahkan apa yang anak suka dan memfasilitasinya untuk dapat produktif dalam kegiatan tersebut.

Mengajarkan kecerdasan intelektual dan emosional pada anak tak hanya menjadi tanggung jawab orangtua. Guru juga memiliki peranan yang tak kalah penting sebagai pengganti orangtua di lingkungan sekolah. Guru tak hanya bertugas membuat anak menjadi pintar secara akademik dengan mengikuti pengajaran sesuai kurikulum yang ada.

Tanggung jawab guru sebagai pendidik anak secara emosional juga sangat penting, misalnya mengajari siswanya untuk tertib mengantri, tidak saling berebut mainan, dan memberikan contoh pada anak cara berkomunikasi yang baik tanpa meluapkan emosi di depan orang lain.

Penulis: Nur Muthmainnah, Pemerhati dunia anak
Powered by Blogger.
close