Kebahagiaan Istri


Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Perempuan itu tak menangis. Ketika suaminya dipastikan meninggal akibat sakit yang dideritanya beberapa waktu belakangan, ia segera menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemakaman. Tak ada airmata yang menetes. Beberapa orang merasa kagum dan melihatnya sebagai sosok yang tegar. Anak-anaknya bangga mempunyai ibu yang jiwanya sangat kokoh. Inilah perempuan perkasa yang dapat mengurusi berbagai hal dengan cekatan, bahkan dalam suasana duka.

Tetapi tidak. Ternyata ia tidak menangis bukan karena tegar, melainkan justru karena bahagia. Ia merasa bahagia disebabkan sanggup mempertahankan pernikahan hingga akhir hayat suaminya, memenangkan pertarungan ini dan menjaga anak-anaknya agar tidak merasakan kerapuhan. Ia bahagia karena sanggup menanggung luka bertahun-tahun hingga suami dijemput maut mendahului dirinya. Ia hanya berharap dapat menikmati kebahagiaan berumah-tangga di masa tuanya. Kalau pun seandainya suaminya tak berubah dengan mentaubati perselingkuhannya, ia dapat menjalani kehidupan berumah-tangga dengan lelaki lain yang baik tanpa mengkhianati suaminya, tidak pula melakukan dosa dengan memperbuat keburukan yang sama seperti perbuatan suaminya.

Jika rumah-tangga muslim mestinya berharap untuk bersama-sama di surga, maka perempuan ini justru sebaliknya, berharap Allah Ta'ala pertemukan dengan laki-laki lain yang baik untuk menikah dengannya hingga kelak bersama-sama di surga. Bukan bersama suaminya yang baru saja meninggal dunia.

Saya tak tahu, ini kisah sedih ataukah bahagia. Tetapi yang jelas, kisah ini menawarkan potret tragedi pernikahan yang tragis, ironis dan satu lagi yang saya tak tahu bagaimana menyebutnya. Absurd barangkali istilah yang tepat. Ada istri merasakan kebahagiaan sekaligus duka karena kematian suaminya. Bahagia karena ditinggal pergi lelaki tak setia dalam keadaan ia tetap sanggup menjaga diri dari pengkhianatan serupa. Duka karena merasakan kesedihan hati anak-anaknya yang ditinggal mati bapaknya; anak-anak yang tak mengetahui keburukan bapaknya.

Diam-diam saya termangu melihat diri sendiri. Saya sungguh berharap peristiwa tragis-ironis semacam ini tak akan pernah menimpa keluarga kita maupun keturunan kita. Ada kewajiban untuk saling menjaga antara suami dan istri. Jika LDR memang mendekatkan Anda kepada dosa besar bernama selingkuh, menangkanlah kebenaran. Yakinlah, memilih yang selamat itu merupakan jalan barakah. Allah Yang Maha Memberi Rezeki. Banyak jalan Allah Ta’ala memberi rezeki kepada manusia. Hanya saja kadang orang lebih memikirkan posisi dan jabatan yang dapat disebut di depan kerabat maupun sahabat, daripada jalan yang selamat dan membawa maslahat.

Apakah LDR salah? Tidak. Saya tidak mengatakan bahwa LDR itu pasti salah, tidak pula pasti benar. Bertanyalah pada nurani mengenai keadaan Anda. Jika sekarang berada pada keadaan yang cukup aman, berjagalah dan jangan merasa aman. 

Semoga kita semua kelak termasuk yang diseru oleh para malaikat dengan seruan, "Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istrimu untuk digembirakan.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 70).

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku Segenggam Iman Anak Kita
Powered by Blogger.
close