Mengajar dengan Bahasa Cinta



oleh : Albar Rahman, S.Pd.I.

Sehari- hari guru di sekolah akan berhadapan dengan murid-muridnya. Sepulang sekolah, anak akan mendapat banyak pengajaran dan nilai-nilai baik positif maupun negatif yang berhasil mereka tangkap di rumah masing-masing. Di ruang yang lebih luas dalam bermasyarakat anak akan menangkap banyak hal lagi.

Apa lagi di era milinia dengan generasi milineal kini saya dan pembaca akan menemukan satu fenomena kebebasan anak untuk mengakses apa saja hingga memungkinkan penyakit apa saja bisa terjangkiti termasuk. Otak-otak anak akan terjajaki oleh beragam informasi baik positif maupun negatif.

Pada kesempatan ini, penulis akan menyuguhkan pada pembaca terkait bagaimana menejemen digital bagi anak di era milineal ini. Pembahasan kali ini hanya mengantarkan pada penyadaran betapa pentingnya mengajar dan belajar dengan bahasa cinta. Sejatinya guru itu pengajar sekaligus pembelajar kehidupan sejati. Selamat saya ucapkan untuk Anda yang memilih poros dan jalan kemuliaan menjadi guru di mana saja baik sekolah formal maupun non formal.

Di balik kemuliaan guru ternyata bukanlah amanah sederhana, hanya sekedar datang dan pergi, masuk dan keluar kelas mengajar sebagai rutinitas harian mengisi kekosongan jam, hari bahkan tahun ke tahun. Guru tak ubah bagaikan profesi tanpa kemuliaan yang melekat padanya jika hanya sekedar sebuah rutinitas.

Ironisnya lagi bila guru didapati bak robot bahkan hantu yang menakutkan di sekolah. Mengajar dengan kekerasan bukan ketegasan. Menuntut bukan menuntun. Hingga mengajar tidak lagi pakai hati tapi menyakiti hati-hati muridnya.

Ada pernyataan menarik, baik sekali jadi renungan bagi guru dan untuk semua. Jenny Gichara dalam bukunya menuliskan, “Perbedaan antara guru yang mengajar secara terpaksa dan guru yang mengajar dengan hati adalah sikap dan perkataannya saat berinteraksi dengan para murid. Hal itu akan menjadi transparan di depan mata dan tidak bisa ditutup-tutupi lagi.” Peryataan ini terlontar saat menyaksikan sebuah kasus betapa ada murid yang tidak bisa melupakan betapa kejamnya “guru” yang pernah menjadi catatan hitam saat di sekolah.

Konsep pendidikan Islam begitu paripurna. Mendidik bukan menakuti bahkan meninggalkan kesan buruk untuk murid. Hadist tentang memukul anak dalam Islam perlu dicermati lagi betapa memukul ialah menggunakan ranting di mana ranting tersebut tidak meninggalkan bekas. Pukulan yang diteladankan bahkan diucapkan oleh Rasulullah SAW adalah dengan pukulan seramah-ramah sentuhan alias penuh kasih dan bukan membekas apalagi meninggalkan bayangan buruk bagi proses pendidikan anak atau murid.

Belajar adalah proses penyampaian bahasa dengan bahasa cinta dan proses interaksi penuh kasih dan sayang, tegas pada tempatnya adalah cara cerdas bagi guru milenial mengambil sikap.

Bahasa cinta adalah bahasa yang harusnya menjadi pengantar proses pendidikan dalam arti luas dan mutlak dimiliki guru. Teori cinta itu memadukan kedekatan alias keakraban nan bersahabat, menerima kekurangan murid dan guru yang selalu berkorban dalam ikhtiar dan doa sepanjang masa. Bukankah Imam Syafii terus mendoakan Imam Ahmad setiap malam betapa Imam Syafii mencintai muridnya. Di samping berhasil mendidik muridnya menjadi ulama ternama.

Yuk merenungi bersama betapa mulianya menggunakan bahasa cinta dalam mendidik. Menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman terbaik dan suritauladannya ialah bagaimana Sang Rasulullah SAW meperlakukan anak-anak dalam proses pendidikan.

Semoga bermanfaat, dan terimakasih pembaca setia yang saya cintai karena Allah.

Penulis : Albar Rahman, S.Pd.I, Pendidik di SD Teladan Sleman Yogyakarta

Powered by Blogger.
close