Merawat Amanah Cinta
Oleh:
Mohammad Fauzil Adhim
NAMANYA Khaulah
binti Tsa’labah. Disebabkan oleh pengaduannya kepada Rasulullah ï·º tentang
perlakuan suaminya, Allah ’Azza wa Jalla menurunkan permulaan surah
Al-Mujaadilah. Ia tidak bisa menerima perkataan suaminya tentang dirinya.
Selintas tampak sepele, tetapi tak ada perkara yang sepele jika disepelekan.
Selengkapnya
tentang peristiwa ini, kita ingat ketika Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan
bahwa Khaulah bin Tsa’Labah berkata, “Demi Allah, mengenai diriku dan suamiku,
Aus bin Tsamit, Allah telah menurunkan ayat di permulaan surah Al-Mujaadilah.”
Katanya,
“Aku berada di sisinya. Dia adalah seorang laki-laki yang sudah tua renta,
akhlaknya sangat buruk. Pada suatu hari, dia menemuiku, tetapi aku menolak
keinginannya. Dia pun marah seraya berkata, ‘Kamu bagiku seperti punggung
ibuku.’ Dia lalu keluar dan duduk-duduk di kedai kawan-kawannya sebentar,
kemudian masuk lagi menemuiku. Ternyata, dia ingin berhubungan badan denganku.
Kataku, ‘Tidak. Demi yang diri Khaulah berada di dalam genggaman-Nya, kamu
tidak layak lagi untukku. Tadi kamu telah mengatakan apa yang telah kamu
katakan itu. (Tunggulah) sampai Allah dan Rasul-Nya memberikan keputusan
mengenai urusan kita dengan hukum-Nya.’
Dia
lalu menerkamku, tetapi aku tetap bertahan. Aku pun melumpuhkannya dengan suatu
cara yang dapat digunakan untuk mengalahkan laki-laki yang sudah tua renta. Aku
menjauhkan diri darinya. Aku lalu keluar untuk bertemu dengan sebagian
tetanggaku. Aku meminjam darinya beberapa pakaian. Setelah itu, aku keluar
untuk bertemu dengan Rasulullah ï·º. Aku duduk di hadapan beliau. Aku ceritakan
kepada beliau tentang perlakuan yang aku terima dari suamiku itu. Mulailah aku
mengadukan kepada beliau tentang akhlaknya yang jelek. Rasulullah ï·º kemudian
berkata, ‘Hai Khaulah, putra pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang sudah
tua. Bertakwalah kamu mengenai dirinya.’”
Khaulah
berkata, “Demi Allah, aku terus mendesak beliau sehingga turunlah ayat itu
mengenai diriku. Seketika itu, Rasulullah ï·º pingsan dan tidak sadarkan diri.
Setelah sadar beliau sangat bergembira. Beliau lalu mengatakan kepadaku, ‘Hai
Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan ayat mengenai kamu dan suamimu.’ Beliau
lalu membacakan ayat itu, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita
yang telah mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan
(halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar tanya jawab antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,’ sampai firman Allah Ta’ala,
‘… dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.’
Rasulullah
ï·º lalu bersabda kepadaku, ‘Perintahkanlah kepadanya untuk memerdekakan seorang
budak.’
Kataku,
‘Ya Rasulallah, dia tidak mempunyai apa-apa untuk memerdekakan hamba sahaya.’
‘Kalau
begitu,’ kata Rasulullah ï·º lagi, ‘suruhlah dia untuk berpuasa dua bulan
berturut-turut.’
‘Demi
Allah,’ kataku, ‘dia adalah seorang yang sangat tua. Dia tidak akan mampu
berpuasa sebanyak itu.’
Kata
Rasulullah ï·º, ‘Kalau begitu, suruhlah dia untuk memberi makan enam puluh orang
miskin dengan satu wasaq
tamar (kurma kering).’
Kataku,
‘Ya Rasulallah, dia tidak memiliki apa-apa untuk diberikan.’
Rasulullah
ï·º kemudian mengatakan, ‘Kalau begitu, kami akan menolongnya dengan satu
keranjang tamar.’
Aku
pun berkata, ‘Ya Rasulallah, akulah yang akan membantunya satu faraq tamar
lagi.’
Rasulullah
ï·º kemudian bersabda, ‘Sungguh, kamu telah berbuat benar dan baik. Pergilah dan
bersedekahlah untuknya. Kemudian, nasihatilah putra pamanmu itu dengan
kebaikan.’”
“Aku
pun melakukannya,” kata Khaulah.
Imam
Al-Hafizh Imanudin Abu Fida Ismail bin Katsir menceritakan hadis ini dalam
tafsirnya yang terkenal sebagaimana dirangkum oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i
dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid IV. Inilah peristiwa yang menjadi
sebab turunnya ayat 1-4 surah Al-Mujaadilah, ayat yang melarang zhihar.
Kata
zhihar berasal dari kata azh-zhahru yang berarti ‘punggung’. Dulu, tutu Ar-Rifa’i
dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, bila mereka hendak men-zhihar istrinya
selalu mengatakan kepada istrinya itu, “Kamu bagiku bagaikan punggung ibuku.”
Selanjutnya, di dalam syariat, zhihar ini dapat dinisbatkan kepada seluruh
anggota badan, sebagai qiyas kepada punggung. Zhihar di masa Jahiliyah sama
kedudukan hukumnya dengan talak. Allah lalu memberikan keringanan untuk umat
Muhammad ini dengan memperlakukan kifarat (sanksi) padanya dan tidak
dikategorikan sebagai talak sebagaimana yang menjadi sandaran mereka di masa
Jahiliyah. Demikian dijelaskan oleh para ulama salaf.
Muhammad
Nasib Ar-Rifa’i kemudian memaparkan lebih jauh tentang zhihar dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid IV,
tapi saya cukupkan di sini perbincangan kita tentang zhihar.
Selebihnya,
saya ingin mengajak Anda untuk melihat pelajaran lain dari peristiwa Khaulah
binti Tsa’labah dengan suaminya Aus bin Tsamit. Ungkapan yang tampaknya sepele
bisa panjang dan berat akibatnya. Jika tidak hati-hati, kata-kata yang kita
ucapkan karena terdesak oleh emosi yang meluap ataupun karena main-main, bisa
meninggalkan nestapa bagi rumah tangga.
Sebaliknya,
banyak perkara yang sekilas tampaknya remeh, tetapi sangat besar nilainya
apabila kita melakukannya. Salam yang kita ucapkan untuk saudara-saudara kita,
sangat ringan di bibir dan tidak membuat tenggorokkan kita kering saat
mengucapkannya, tetapi sangat besar maknanya. Persaudaraan bisa tumbuh dan
persahabatan bisa bersemi karena mereka merasa kita perhatikan, sementara kita
sendiri barangkali telah lupa kepada siapa saja kita mengucap salam selama
sebulan.
Banyak
hal “kecil” yang sesungguhnya tidak kecil. Kalau kita memperhatikannya, sangat
besar maknanya.
Rumah
tangga yang beku dan tidak menjadikan penghuninya selalu ingin pulang, dapat
berubah menjadi pelabuhan jiwa yang menenteramkan suami istri beserta anak-anak
ketika hal-hal “kecil” itu kita perhatikan. Tidak kita campakkan karena sepele.
Ada
banyak hal kecil dalam rumah tangga yang sering kita abaikan sehingga seorang
istri merasa tidak dihargai suaminya, sedangkan suami merasa tidak diperhatikan
oleh istrinya. Di antara hal-hal kecil yang besar maknanya dalam menyirami
ladang cinta di rumah kita adalah tentang bagaimana kita memanggil namanya.*
Penulis
buku-baru parenting dan Guru Motivasi Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu. FB: Mohammad
Fauzil Adhim. Twitter: kupinang IG: @mohammadfauziladhim
Post a Comment