Jangan Matikan Potensi Anak
Oleh : Suhartono
Suatu
ketika, seorang anak bermain di dapur dan tanpa sengaja memecahkan gelas kaca.
Gelaspun hancur tak berbentuk lagi. Sontak sang ibu berteriak kuat sambil
mengucapkan kata nakal yang membuat sang anak ketakutan. Hanya karena gelas
saja ibunya rela menyakiti hati sang anak dan ditambah lagi dengan pukulan yang
mendarat di kakinya. Sang anak hanya mampu berdiri di pojok ruangan dengan
wajah memerah dan ketakutan. Hanya karena sebuah gelas seharga Rp. 10.000, sang
ibu rela menyakiti hati sang anak yang mungkin saja dapat ia ingat sampai ia
dewasa.
Pertanyaannya
sekarang, nakalkah anak tersebut? Apakah pantas seorang anak yang memecahkan
gelas tanpa sengaja atau sekadar melompat-lompat di kursi lantas kita sebut
sebagai anak nakal?
Anak
diciptakan dengan segudang potensi dan keunikan masing-masing. Namun, sadarkah
kita, sebagai orangtua atau guru, ternyata kita punya andil dalam
mematikan atau membonsai potensi anak yang merupakan anugerah terbesar bagi
dirinya. Kita terlalu cepat memberikan label kepada mereka dengan sebutan anak
nakal.
Mereka
sebenarnya anak yang kreatif dan memiliki kecerdasan yang luar biasa namun
kreatifitasnya tak sejalan dengan pemikiran dan keinginan kita. Seorang anak
yang ingin bermain di luar rumah dan sang ibu memaksanya untuk tidur. Akhirnya
pintu dikunci dan tak lupa menyelot kunci pintu yang ditaruh paling atas pintu.
Lalu, kuncinya digantung di atas tembok yang tak dapat terjangkau oleh sang
anak. Apa yang terjadi? Sang anak mengangkat kursi dan naik di atasnya, lalu
mengambil kunci yang digantung di tembok. Menyadari kunci sudah ada di
tangannya sang ibu hanya memperhatikan saja. Dalam hati, mana bisa anak sekecil
itu bisa membuka pintu. Anak pun memasukkan kunci ke lubangnya dan mencoba
beberapa kali memutar-mutar kunci. “Klik….” bunyi kunci terbuka.
Anak
tersebut memiliki kecerdasan yang luar biasa, ia mampu memikirkan cara untuk
mengambil kunci yang tergantung di tembok dan membuka pintu. Tapi masalahnya
adalah kecerdasan sang anak tidak sejalan dengan keinginan sang ibu yang
menginginkan anaknya untuk tidur.
Anak
kadang memiliki energi “ekstra” namun kita tidak dapat menyalurkannya dengan
baik Masih ingatkah kita dengan sosok si jenius Albert Einstein? Anak yang
bermasalah dari sekolah dasar. Selama sekolah, ia tidak mau mengikuti pelajaran
selain matematika dan fisika. saat pelajaran sastra dan yang lainnya, ia
memilih keluar dari kelas dan pergi ke danau untuk bereksplorasi dengan alam.
Saat di sekolah, Einstein dikenal sebagai anak nakal. Alhamdulillah ia memiliki
orang tua yang sangat mendukung keinginannya yang kuat untuk terus belajar
matematika dan fisika dan memilih untuk tidak mempelajari ilmu lainnya. Orangtua
dan guru memiliki tanggung jawab penuh untuk menyalurkan energi ekstra sang
anak pada posisi yang tepat agar sang anak mampu untuk terus mengembangkan
kemampuannya.
Sering
pula anak yang memiliki ide yang ” tidak biasa” namun kita menganggapnya
sebagai anak yang tidak bisa diatur. Proses belajar mengajar di kelas sering
sekali terhambat karena adanya beberapa anak yang tidak mampu mengikuti
prosedur yang diharapkan guru. Contohnya saja ketika melakukan praktikum.
Sering sekali anak tidak mengikuti arahan dari guru dan melakukan kreasi
sendiri. Kita sering sekali menganggap anak nakal hanya karena ia tidak bisa
mengikuti arahan kita, padahal di luar dari itu, sang anak sedang mencoba ide
kreatifnya yang muncul secara tiba-tiba dan mungkin tidak mendapatkan pengakuan
di rumahnya. Seharusnya kita mampu melihat dan membimbing apa yang
dikerjakannya dan memberikan apresiasi atas usahanya.
Apapun
yang dilakukan seorang anak yang dinyatakan terlarang bagi anak dan merugikan
bagi orang lain, sesungguhnya posisi anak tetap sebagai korban. Anak adalah
korban kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua, korban pendidikan yang
belum memadai, korban perkembangan teknologi dan media massa dengan aturan yang
tidak berpihak kepada kepentingan tumbuh kembang moralitas dan mentalitas anak.
Karena apa yang dilakukan anak yang dipandang sebagai bentuk kenakalan itu,
juga merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab perlindungan orangtua,
keluarga, masyarakat, bahkan negara dan pemerintah.
Suhartono, Pendidik, tinggal di Yogya
Post a Comment