Memilih Pondok Pesantren untuk Anak Kita



Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Penulis buku Segenggam Iman Anak Kita

Dari beberapa pembahasan sebelumnya (Kapan Sebaiknya Anak Mondok), ada yang harus kita ingat bahwa hal mendasar yang menjadi alasan memasukkan anak ke pondok pesantren adalah mempersiapkan mereka menjadi mukallaf.

Begitu mukallaf, mereka mempertanggung-jawabkan segala tindakan maupun ucapan mereka. Jika saat mukallaf baru kita persiapkan, boleh jadi banyak sekali perbuatan dosa yang kita ikut menanggungnya karena jika mereka tidak mengetahuinya disebabkan tidak kita persiapkan, kitalah yang akan dimintai pertanggung-jawaban.

Pada tahap ini, seseorang seharusnya memiliki ahliyah al-ada kamilah (اهلية الاداء كاملة), yakni orang yang memiliki kemampuan dan kecakapan untuk bertindak secara hukum, membelanjakan harta (tasharruf) serta memikul bebanan taklif secara sempurna dan menyeluruh.

Ini berarti, dalam mencari pondok pesantren perlu mempertimbangkan aspek ada tidaknya proses atau mekanisme untuk menjadikan anak mampu membelanjakan harta secara bertanggung-jawab, mengelola keuangannya, dan tidak justru manja.

Lalu, pesantren seperti apa yang kita pilih? Selain berkenaan dengan hidupnya suasana agama baik di dalam kelas maupun dalam kehidupan sehari-hari di funduq (asrama), ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Apalagi jika anak kita sebelumnya sangat lekat dengan orangtua dan tingkat kemandiriannya kurang.

Ada perbedaan antara dekat dan lekat. Seorang anak yang memiliki kedekatan dengan orangtua, cenderung lebih aman secara mental pada saat tidak lagi bersama orangtua.

Sebaliknya, anak yang tingkat kelekatannya tinggi, berpisah dengan orangtua dapat merupakan ancaman. Jika pun ia termotivasi untuk masuk ke pondok pesantren, perlu ada yang dapat mendekat kepadanya dengan segera. Dalam hal ini orangtua dapat membantu, misalnya dengan mendekatkan satu anak dengan temannya yang lain sehingga memiliki rasa aman yang lebih besar, terutama saat-saat awal di pondok pesantren. Bisa juga dengan menitipkan anak tersebut sehingga anak memperoleh perhatian, meskipun sekedar sapaan, yang lebih sering dari salah satu pengasuh.

Sebagaimana sekolah secara umum, semestinya anak yang masuk pesantren perlu dipetakan. Ada anak yang termasuk student at risk (santri beresiko). Nakal? Bukan. Tetapi ia perlu memperoleh perhatian lebih, khususnya pada awal masa penyesuaian diri.

Apa yang diperlukan agar anak mudah menyesuaikan diri dan berkembang potensinya dengan baik selama di pondok pesantren?

Secara sederhana, apa yang diperlukan agar anak dapat berkembang secara optimal dan menghindarkan anak dari potensi-potensi penyimpangan?

Ada empat aspek yang diperlukan oleh anak. Pertama, hubungan yang ngemong (nurturing). Layaknya membesarkan anak sendiri, para pengasuh atau di antara pengasuh menjalin hubungan yang memperhatikan perkembangan anak. Ini terutama diperlukan di masa-masa awal, meskipun tetap sangat penting hingga anak mau lulus.

Kedua, hubungan yang responsif, yakni bagaimana pengasuh dapat mendengarkan (bukan hanya mendengar) anak, menanggapi anak dan menunjukkan antusiasme. Semakin responsif, anak cenderung semakin termotivasi meskipun tidak ada pujian. Mendengarkan dengan penuh minat sudah merupakan pengakuan tersendiri yang sangat bernilai harganya.

Ketiga, sedapat mungkin kita mencari pesantren dimana lingkungan psikisnya bersifat memberi dukungan. Apa indikasi sederhananya? Menunjukkan sambutan yang baik, sikap respek kepada orang lain, merasa senang jika temannya berhasil dan berempati kepada temannya yang sedang menghadapi masalah.

Dari pengalaman berinteraksi dari berbagai kunjungan, pesantren sebagai lingkungan yang mendukung atau suportif ini terwujud bermula dari adanya hubungan yang benar-benar ngemong antara para pengasuh dan bahkan seluruh pihak yang terkait (petugas kebersihan, misalnya) dengan para santri. Suasana yang memberi dukungan tinggi menjadi semacam iklim pesantren.

Iklim semacam ini biasanya tidak muncul dari model yang lebih menekankan pada mekanisme peraturan semata-mata, sementara interaksi yang hangat antara pengasuh dan santri kurang.

Bagaimana jika ada santri yang bermasalah?

Ada yang menekankan pada derajat kesalahan anak semata-mata, tanpa melakukan pendekatan kepada anak yang bersangkutan serta melaporkan progress kepada orangtua.

Ada pula yang lebih menekankan kepada pemberian dukungan secara emosional dan sosial kepada anak, mendengarkan masalah anak, membantu anak memecahkan masalahnya dan memberi penguatan sekaligus membangkitkan optimisme anak untuk mampu menyelesaikan masalah. Bukan sekedar memecahkan masalah, lebih dari itu mencapai yang terbaik.

Penulis: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku Segenggam Iman Anak Kita
Powered by Blogger.
close