Pahami Sosioemosional pada Anak
Oleh : M. Adam Mustaqim
Seorang anak, terkadang mengalami kondisi mood
of fluctuation atau keinginan yang selalu berubah-ubah, emosi yang kurang
stabil, dan labilitas sosial dalam berinteraksi. Jika sudah demikian, orang tua
harus lebih dini untuk mengetahui apa ysng sebenarnya terjadi pada sang buah
hati.
Adalah sosioemosional, perkembangan dalam diri
seseorang yang mencakup emosi, sosial, dan moral. Jadi, bila seorang anak
mengalami kondisi seperti di atas, bisa dipastikan bahwa mereka sedang melalui
tahap perkembangan sosioemosional.
Emosi mencakup adhesiveness atau
hubungan emosional antara dua individu yang saling memiliki, menyayangi, dan
memiliki kedekatan hubungan horizontal di atas rata-rata, seperti kedekatan
seorang ibu pada anaknya. Watak dan harga diri juga termasuk pada kriteria
emosi, namun antara keduanya memiliki perbedaan karakteristik. Jika watak
memiliki ciri khas sebagai identitas seseorang secara holistik, harga diri
memiliki spesifiksi dalam memilah antara positif dengan negatif.
Adapun perkembangan sosial, mencakup
pengetahuan sosial konvensional, dan perkembangan pengetahuan prosoial. Dalam
perkembangan pengetahuan sosial konvensional, anak dilatih agar dapat memiliki
hubungan interpersonal, yang tidak hanya berotasi pada sekelilingnya saja, akan
tetapi agar dapat mejangkau pada semua lini sosial, baik lingkungan rumah,
tempat ia menimba ilmu, hingga berinteraksi dengan alam.
Dilihat dari konteksnya, perkembangan
pengetahuan prososial tidak jauh berbeda dengan perkembangan pengetahuan
konvensional, hanya saja pengetahuan prososial lebih selektif, namun terbuka
dengan lingkungan, tanpa merasa terbatasi dengan keadaan, dengan tujuan agar
mendapatkan hasil yang diinginkan. Seperti arahan orangtua kepada sang anak
yang lebih bertitik berat pada inteaksi terhadap masyarakat. Secara bertahap,
orangtua tersebut mengharapkan sang anak agar kelak ia memiliki kecerdasan
intrapersonal, sehingga output yang didapat, sang anak memiliki kepekaan
ekstra terhadap mayarakat, memiliki jiwa pemimpin, dimensional, dan komunikatif
terhadap lawan bicaranya. Pada sisi lain, prososial juga bisa diartikan sebagai
bentuk empati diri terhadap linghungan sekitar, baik dengan sesama makhluk
hidup, ataupun alam.
Sedangkan moral, mencakup tahapan zero
moral, premoral dan moral realism. Tahapan zero moral,
adalah ketika sang anak baru mengenal dunia, atau dari usia 0 hingga menginjak
2 tahun. Adapun premoral, adalah proses penanaman etika terhadap sang anak dari
usia 2 hingga 6 tahun. Moralism adalah fase aplikatif dari kedua tahap
perkembangan moral sebelumnya. Fase inilah yang menentukan karakteristik
seorang anak, yang dipengaruhi oleh zero moral, dan premoral,
karena fase ini bersifat doktrinal.
Pada fase zero moral, seorang anak
belum dapat merefleksikan perkataan atau tindakan yang diajarkan oleh orang
tua. Namun jangan salah, karena di usianya yang baru mengenal dunia, sang anak
dapat mereflesikan bunyi-bunyian, seperti musik, gemuruh air, getaran, dll, dan
juga mampu merefleksikan pengliatannya, seperti melihat warna, benda bergerak, hingga
pantulan cahaya. Bentuk refleksi tersebut tentunya belum dapat dirasakan atau dilihat
oleh orang tua secara spontanitas, namun berkala, hingga sang anak menginjak
fase premoral.
Ketika pada fase 0 hingga menginjak 2 tahun
sang anak kerap kali mendengar bunyi-bunyian hyper sound, seperti musik
rok, kebisingan lalulintas, atau suara frontal lainnya, kelak pada fase
premoral ia cenderung enggan untuk menirukan apa yang orangtua arahkan, bertingkah
semaunya, dan memiliki motoritas di atas rata-rata atau hyper active, sehingga
pada fase isme, anak cenderung sulit untuk diarahkan, dan apatis
terhadap keadaan.
Adapun tahapan moral realism, adalah bentuk
doktrinasi realistis yang sebelumnya telah disematkan orang tua kepada sang
anak pada fase permoral. Pada fase ini, anak-anak lebih mendapat penekanan pada
tindakan nyata, sehingga pada jangka berkala, anak sudah benar-benar menemukan
karakternya sebagai makhluk sosial dan bermoral.
Perlu diingat, bahwa ketiga fase perkembangan
moral di atas, adalah suatu hal yang sangat sensitif, sehingga para orangtua
dituntut agar memiliki kehati-hatian yang ekstra. Sebisa mungkin para orangtua
agar dapat menjaga intonasi dalam berbicara, menghindarkan dari suara-suara
yang frontal atau hyper sound, dan mencegah segala bentuk materil
yang bersifat negatif, sehingga pada fase perkembangan moral selanjutnya, sang anak
akan lebih mudah diarahkan, dan lebih mudah dibentuk karakternya, sesuai kehendak
orang tua yang diinginkan. Wallahu a’lam.
Penulis: M. Adam Mustaqim, Pendidik di SDIT Salsabila
Banguntapan
Yogyakarta
Post a Comment