Ruang Kecil
Oleh : Abdul
Muttaqin,
Penulis lepas, tinggal di Depok, Jawa
Barat
Kita lanjutkan
kisah yang telah kita baca edisi bulan lalu. Pada edisi yang lalu, kita sudah
menyimak sebagian kisah Pak Munif Chatib tentang adanya ruang kecil di sekolah-sekolah
di Finlandia yang tersedia untuk mengamankan guru yang mabuk akibat minum
alkohol. Disediakan khusus untuk sementara waktu agar mereka tidak masuk kelas
dan mengajar dalam kondisi mabuk. Di ruangan itu pula, guru yang sedang teler
melakukan apa saja layaknya orang mabuk, seperti memukul apa saja di ruang itu.
Fenomena lain
adalah saat memasuki musim dingin tiba. Saat musim dingin, siang lebih pendek,
dan malam lebih panjang. Bahkan gelap bisa belangsung terus menerus selama 24
jam. Banyak yang depresi. Tidak sedikit yang merasa ketakutan dan terkurung
tanpa bisa melarikan diri. Nah, memasuki musim dingin, mereka saling berpelukan
dan meminta maaf. Nanti mereka akan berpelukan lagi saat mereka bertemu dengan
teman, kolega atau tetangga setelah menghabiskan musim dingin yang panjang itu.
Saat pertama kali mereka bertemu di musim panas, mereka berpelukan saling
menyukuri masih bisa melihat matahari terbit. Mereka gembira karena masih bisa
berjumpa lagi dalam keadaan masih sehat dan hidup. Sebab di Finlandia, banyak
orang putus asa dan bunuh diri saat musim dingin itu dengan cara yang
bermacam-macam. Satu di antaranya dengan cara menabrakkan diri mereka dengan
kereta cepat di stasiun-stasiun kereta. Mereka gembira karena tadinya menyangka
tidak akan pernah bertemu kembali karena bisa jadi salah satu di antara mereka
menjadi korban pelaku bunuh diri.
Pak Munif speechless. Saya speechless lagi mendengar ceritanya.
Para guru itu
bangga pendidikan mereka hebat dan gaji mereka besar, tetapi pada dua kasus
cerita guru di atas, secara tidak langsung mereka mengakui ada problem dalam
sekolah dan kehidupan mereka. Pada poin ini, saya kurang jeli menangkap, apakah
guru-guru yang diundang dan curhat itu adalah guru-guru Dream School, sekolah
terbaik di Finlandia yang dikunjungi Pak Munif atau bukan.
Dilihat dari kasat
mata, terutama pada tingkat kemakmuran warga Finlandia, pendidikan mereka
memang hebat, tetapi dalam sisi pendidikan ruhani, pendidikan mereka rapuh.
Begitulah kira-kira simpulan Pak Munif. Namun secara fisik, kita memang harus
mengakui hebatnya pendidikan di Finlandia. Kalo tidak percaya, hayo ongkosi
saya kita ke sana liat dari dekat.
Cerita Finlandia
Pak Munif saya selesai sampai di sini.
Sekarang terserah,
percaya cerita Pak Munif ini yang saya ceritakan kembali, kagum dan terus
muji-muji hebatnya pendidikan di Finlandia, mau ngelanjutin mendukung atau
mengritik keras atau lembek Full Day School, atau setuju bahwa kita punya
sistem nilai untuk pendidikan dalam bingkai worldview Islam bahwa pendidikan
harus berbasis iman, Islam dan ihsan tanpa harus inferior dengan sistem
pendidikan mana pun.
Islamic Worldview
Pendidikan Islam
punya cara pandang yang sama sekali berbeda dengan Barat yang sekuler. Bagi
seorang muslim, ilmu untuk mengenal Allah dan mengantarkan pada ketundukkan
kepada-Nya, sementara bagi orang sekluer, ilmu tidak ada kaitannya dengan
Tuhan. Ilmu bagi seorang muslim akan menuntunnya pada perilaku dekat kepada
Allah. Tetapi tidak bagi Barat sekuler.
Saya kutip Dr.
Hamid Fahmy Zarkasy tentang hipotesa penelitian tiga Profesor, Richard Lynn,
Ulster University, Irlandia Utara, Helmuth Nyborg, Universitas Aarhus, Denmark
dan John Harvey Sussex, Inggris. Mereka bertiga meneliti adanya korelasi
negatif antara IQ dan Iman atau antara kecerdasan dan keimanan. Mereka
berangkat dari hipotesa : “Semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin
sekuler dan bahkan ateis. Semain bodoh seseorang itu ia semakin religius.”
Lebih lengkapnya bagaimana hasil dan problem metodologis riset tersebut bisa
dibaca dalam Hamid Fahmi Zarkasy, Misykat, Refleksi Tentang Islam, Westernisasi
& Liberalisme, hal 52 -60.
Lalu apa kaitannya
dengan guru mabuk dan bunuh diri di atas? Kaitannya adalah cara pandang
(worldview). Mabuk bagi guru di Finlandia bisa jadi tidak ada hubungannya
dengan profesinya sebagai guru, tapi di Indonesia, atau di lingkup lembaga
pendidikan Islam, ini problem serius.
Lawrence Kohlberg,
tentu banyak orang tahu, dikenal sebagai Profesor dalam bidang psikologi sosial
di Universitas Chicago. Selain itu Kohlberg juga terkenal sebagai pakar
pendidikan di zamannya. Bahkan dialah yang menggagas pendidikan karakter. Namun
kita terkejut karena penggas pendidikan karakter yang ahli psikologi ini,
dililit depresi berkepangangan dan tidak banyak berjuang untuk bertahan.
Ironisnya, Kohlberg justru terfikir untuk mengakhiri hidupnya. Tentu ini adalah
sebuah aib bagi dunia psikologi yang mengajarkan perlawanan untuk keluar dari
sebuah masalah. Kohlberg kabur dari rumah sakit di Cape Pod, Massachusetts
tempatnya dirawat karena tidak kunjung sembuh.
Di Boston Harbor,
sebuah daerah tepi pantai dekat Samudera Atlantik, pencetus pendidikan Karakter
ini mati secara tragis. Kohlberg menenggelamkan tubuhnya ke dalam samudera
bersama virus yang telah menggerogotinya dalam waktu sekian lama.Hingga
akhirnya, jasad Kohlberg diketemukan pada April 1987 mengapung sekitar 1.000
meter ke arah selatan pantai. Dari hasil pemeriksaan medis, disimpulkan bahwa
tenggelam adalah penyebab kematian seorang Kohlberg.
Lalu, maunya
pendidikan kita bagaimana?||
Post a Comment