Ujian Hijrah

Oleh : Salim A. Fillah

Bayangkan yang terasa di hati; jika setelah kita tinggalkan masa lalu, kita korbankan manis, nyaman, dan indahnya hidup dalam lalai, lalu sosok yang kita tuju, kita rindu, kita harapi, dan kita cintai bersebab hidayah justru berkata, “Jika kau bisa untuk tak menampakkan wajahmu dalam pandanganku, lakukanlah!”

Bayangkan yang terasa di hati, ketika mimpi untuk berada di hadapan junjungan jiwa; menatap wajahnya, menikmati senyumnya, menadah sabdanya, dan mengiring langkahnya, kandas seketika.

Duhai, adakah ujian hijrah yang lebih berat dari yang dialami Wahsyi? Ketika Rasulullah ï·º bersabda pada kali pertama dia datang setelah iman berkuncup di hatinya, “Wahai Wahsyi, jika kau bisa untuk tak menampakkan wajahmu dalam pandanganku, lakukanlah!”

Mengapa?

“Sebab, setiap kali melihatmu wahai Wahsyi, aku teringat apa yang menimpa Pamanku Hamzah”, tergenang bening kesedihan di mata Sang Nabi ï·º. Duka itu amat menikam. Luka itu amat dalam.

Ya. Dulu dikonyol-konyolkannya Bilal yang ‘tersihir’ oleh kata-kata Muhammad ï·º. Dulu hidup baginya adalah tentang perjuangan memerdekakan diri dari perbudakan, meraih kebebasan, dan persetan soal iman.

Demi itu, telah dia bunuh dengan culas si ksatria terhormat, Sang Singa Allah. Demi itu, telah dia bedah dada Paman terkasih Rasulullah ï·º. Demi itu, telah dia biarkan kecamuk dendam mengunyah-ngunyah jantung Hamzah. Tapi kebebasan apa yang dia dapat, ketika para bangsawan Arab tetap melihat dengan tatapan menghina pada warna kulitnya?

Maka dia berhijrah, menghambur ke dekapan ukhuwah. Namun Rasulullah ï·º tak berkenan bersitatap dengannya. Berat. Tapi Wahsyi tak menyalahkan Sang Nabi ï·º. Betapapun rasa hati beliau itu amat manusiawi. Maka dia taklukkan kekecewaan, dia bulatkan tekad, dan dia raih kepahlawanan hijrahnya di Perang Riddah. “Dengan lembingku pernah kubunuh manusia terbaik yakni Hamzah. Dengan ini pula kubunuh manusia terburuk, yakni nabi palsu Musailimah.”

Seperti Wahsyi, sanggupkah kita istiqamahkan diri, andai yang terpuja di hati karena iman justru tak berkenan didekati?

Salim A. Fillah, Penulis Buku

Powered by Blogger.
close