Kadang Kala Senyuman Cukup Menjadi Jawaban

Oleh : Imam Nawawi
Di era yang manusia mulai banyak meninggalkan aktivitas membaca, berdiskusi secara sehat, dan berpikir, kerapkali kita bertemu dengan beragam kalimat yang sulit dicerna akal sehat.
Soal reuni 212 misalnya, mereka yang terlampau jauh telah meninggalkan tradisi berpikir, asyik menyoal jumlah. Atau sebagian mereka yang bertanya, Nabi Umat Islam, kok istrinya banyak, sampai ada yang anti sama poligami, misalnya.
Sementara, terhadap budaya negatif, berupa kata atau kalimat yang dahulu orang tua kita melarang, seperti ungkapan tidak patut, malah cukup sering berseliweran di dalam kehidupan ini. Dan,mereka ok ok saja.
Hal demikian, dalam ragam bentuk dan tingkatannya selalu ada di dalam kehidupan. Di zaman Rasulullah, mereka yang kruang akal (sufaha) bertanya yang kalau bahasa sekarang mungkin begini, “Ngapain tuh, umat Islam pindah qiblat, kurang kerjaan banget.”
Terhadap kalimat yang bersifat usil dan cenderung tidak didasari argumentasi logis yang memadai, kita diperintahkan oleh Allah menjawab dengan kalimat, “Milik Allah Timur dan Barat.”
Tentu saja, itu kita ucapkan sembari menyunggingkan senyum manis.
Terhadap orang yang bertanya perihal apa kontribusi Islam di dalam kehidupan dan peradaban manusia, Buya Hamka dalam buku Keadilan Sosial dalam Islam, menyarankan kita menjawabnya, cukup dengan senyuman.
“Apabila ada orang yang bertanya, “Mana bekas pengaruh Islam di dunia?”
Pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan satu senyum manis saja. Sebab ini adalah pertanyaan dari orang yang bodoh dalam hal yang dia tanyakan, terutama di tanah Indonesia.” (halaman: 195).
Sahabat, hidup ini sungguh sangat berharga, sayang jika semua ketidaktahuan orang, meskipun dengan ragam jenis gelar akademik mengemuka, kita respon secara serius, sementara tidak ada maksud pertanyaan itu dilontarkan, melainkan hanya untuk menyia-nyiakan umur kita. Allahu a’lam.


Bogor, 6 Rabiul Akhir 1440 H
Imam Nawawi, Pemimpin Redaksi Majalah Mulia
Powered by Blogger.
close