Nilai Jual Tinggi



Oleh : Tuswan Reksameja

Di suatu sudut sekolah, saat waktu istirahat, terlihat beberapa anak sedang bercengkrama dengan gurunya. Terlihat mereka saling bercanda dan kadang tertawa lepas. Mungkin ini salah satu metode mengakrabkan guru dan murid, mereka berbaur dan bercengkrama tentunya dengan adab-adab yang terjaga.

Eh, Nak. Kalian pernah belanja nggak?tiba-tiba suara Pak Sahid menyahut anak-anak yang sedang tertawa. Beberapa anak saling berpandangan.

“Ya pernah dong, Pak. Memang ada apa sih, Pak?” jawab salah satu anak langsung dengan sebuah pertanyaan ringan. “Begini-begini, ayahku itu kerjanya kantoran lho, Pak Guru,” selorohnya, sambil membanggakan ayah tercintanya.

“Kalau kalian belanja, biasanya barang belian kalian ini apanya yang menarik?” tanya Pak Sahid.

“Ya kalau saya sih yang harganya murah, Pak,kata salah seorang murid.

“Kalau saya yang banyak diskonnya, Pak,kata satu murid lagi.

“Yup, begitulah orang memilih barang. Ada yang lain?” kata Pak Sahid sambil menyodorkan sebuah tawaran jawaban.

“Saya mah yang mahal, Pak.” Kata salah satu murid.

“Oke, kenapa kamu pilih barang yang mahal?” Kini giliran si murid mendapat sebuah pertanyaan dari gurunya.

“Ya, karena bagus sih biasanya.” Jawab anak tersebut sekenanya.

Pak Sahid menggeser posisi duduknya agak mendekat ke anak-anak. Hal ini sering dilakukan jika Pak Sahid akan menyampaikan sesuatu yang dirasa penting. Anak-anak yang sedari tadi agak santai kini mulai serius. Mereka siap mendengarkan apa kata Pak Sahid.

“Orang memilih barang yang dibeli memang bisa karena harganya yang murah, atau juga karena banyak diskon, dan atau juga karena barang tersebut mahal,” kata Pak Sahid mulai memberikan petuahnya. “Sekarang perhatikan barangnya, bukan harganya. Barang, misalnya sepatu, dijual murah atau mahal karena mutu atau kualitas bahannya. Misalnya, jika bahannya dari kulit asli, maka harga akan berbeda jika bahannya dari kain,kata beliau.

Kelihatannya anak-anak masih belum paham. Mereka masih bengong melompong mendengarkan kata-kata Pak Sahid. “Harga mahal karena kualitas barangnya bagus, barangnya bermutu, sehingga barang tersebut tahan lama alias awet,” kata Pak Sahid. “Jadi sesuatu dihargai mahal karena mutunya, karena kualitasnya.” Begitu kalimat terakhir Pak Sahid. 

Anak-anak masih kelihatan belum paham betul. Namun bel tanda masuk terdengar mengakhiri istirahat mereka, mengakhiri sisa-sisa pertanyaan yang seharusnya keluar dari mulut-mulut mungil anak-anak itu.

Percakapan tersebut hanya fiktif belaka. Mari kita mengambil pelajaran dari kisah tersebut, Pertama kedekatan guru dan murid harus dibangun. Jangan memberi kesan guru harus kelihatan angker di hadapan anak didiknya. Bangun kedekatan antara guru dan murid, antara atasan dan bawahan, tentu dengan memperhatikan adab-adab yang harus ditegakkan.

Kedua, suatu barang dihargai mahal karena mutunya, karena kualitasnya. Walaupun tidak sedikit ada barang yang murah dan kualitasnya bagus, kita tidak fokus pada hal ini. Pun begitu manusia, manusia diberi apresiasi tinggi karena kualitas dirinya. Tentu akan berbeda penghargaan seseorang ketika anak yang pintar dengan anak yang biasa-biasa saja. Akan berbeda anak yang shalih dengan anak yang banyak membuat masalah. Akan berbeda guru yang pandai mengajar dan guru yang biasa-biasa saja. Bahkan Allah pun berbeda penghargaan kepada hamba yang pandai bersyukur dan hamba yang mengingkari nikmat-nikmatNya. Hamba yang shalatnya baik dengan hamba yang shalatnya buruk. Pasti akan berbeda.

Manusia, baik anak-anak, remaja, guru, atau orangtua dinilai tinggi karena kualitas dirinya, bukan karena banyaknya harta, bukan karena keturunan orang ternama, bukan karena mempunyai hubungan khusus dengan penguasa. Ingin dihargai tinggi, bangunlah kualitas diri! Wallahu a’lam bishawab.

Tuswan Reksameja, Redaktur Majalah Fahma
Powered by Blogger.
close