Kemitraan Sekolah dan Orangtua


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Sekolah yang baik tidak bisa dibeli karena ia berdiri untuk sebuah prinsip. Ia memperjuangkan idealisme. Ia sedang ingin mewujudkan sebuah cita-cita mulia. Cukuplah kita merasa khawatir jika sekolah lebih banyak menonjolkan kegiatan-kegiatan populis untuk mengambil hati orangtua daripada melakukan upaya berkesinambungan agar orangtua turut memperjuangkan idealisme tersebut, sekurangnya bersikap hormat terhadap idealisme sekolah serta prinsip-prinsip yang ditegakkan oleh lembaga.

Sekolah yang mudah ikut arus, menuruti kemauan “pasar” dan larut dalam trend, hampir pasti merupakan lembaga yang misi ideologisnya lemah dan visinya tidak jelas.
Ini bukan berarti sekolah mengabaikan peran orangtua.

Tanpa ada komitmen orangtua untuk berubah, maka pengajaran, pembiasaan, dan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah bisa mentah. Sekolah yang baik tetap bertumpu pada proses yang terencana di sekolah. Sekolah tidak bisa mengandalkan orangtua karena meskipun sama-sama memiliki komitmen yang sangat tinggi, wujud komitmen itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan orangtua.

Di samping itu sekolah juga harus menyadari bahwa tidak mungkin menyamakan cara orangtua mengasuh anak secara total. Ada banyak hal yang menyebabkan para orangtua —termasuk guru—secara alamiah berbeda satu sama lain, bahkan di antara orang-orang yang memiliki cara pandang sama.

Tak ada keraguan sedikit pun bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan radhiyallahu anhum ajmain merupakan sahabat utama yang penuh kemuliaan dan khalifah yang mendapat petunjuk (khulafaur rasyidin), tetapi mereka masing-masing memiliki kepribadian yang unik dan temperamen yang berbeda.

Itu sahabat utama radhiyallahu anhum!! Mereka jauh lebih utama dibanding kita yang hidup sekarang ini. Maka, bagaimana mungkin kita secara total menyamakan cara orangtua murid mengasuh anak dengan cara guru mendidik (atau mengajar?) di sekolah.

Jenjang pendidikan berbeda-beda, kemampuan memahami bertingkat-tingkat, dan latar belakang sekolah sangat beragam. Padahal, sudah paham sangat berbeda dengan mampu menerapkan dengan baik. Selain itu, mereka menjadi orangtua bukan karena menempuh pendidikan khusus tentang bagaimana menjadi orangtua, tetapi karena mereka sudah punya anak.

Orangtua tidak memiliki persiapan khusus dalam mendidik anak, kecuali orang-orang tertentu saja. Gurulah yang memang sedari awal —seharusnya—mempersiapkan diri bagaimana mendidik para siswa, termasuk menghadapi mereka yang bermasalah perilakunya. Apalagi jika kita perhatikan bahwa waktu efektif anak di sekolah jauh lebih banyak dibanding di rumah, maka seharusnya sekolah menjadi koreksi atas apa yang terjadi di rumah.

Lalu apa harus sama antara sekolah dan rumah? Nilai-nilai dasar yang harus ditegakkan. Adalah tugas sekolah untuk secara berkesinambungan melaksanakan pendidikan bagi orangtua agar bersama-sama anak menghormati, memuliakan, dan merasa bangga dengan nilai-nilai itu sehingga amat besar keinginan dari setiap pihak untuk mewujudkan nilai tersebut di mana pun mereka berada. Sekadar paham tak akan membuat mereka bangga.

Wallahu alam bish-shawab.

Penulis: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku Segenggam Iman Anak Kita
Powered by Blogger.
close