Menjaga, Menata, lalu Bercahaya
Oleh : Salim A. Fillah
Salman
Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya
sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya.
Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan
yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut
perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi
bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya.
Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa,
dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis
pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus
ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam
khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang
dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”,
girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka
setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah
rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah
lagi bertaqwa.
”Saya
adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah
telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan
amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu
’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya
datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk
dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling
murni.
”Adalah
kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat
Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan
seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya
saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang
di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan
kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang
bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan
mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman.
Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri
kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas
sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri
lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan
ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman.
Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut
tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan
gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang
dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu
Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku
serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥
Tak
mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud
Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal
sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk
menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun
bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya?
Ijinkan
saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya
Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau
menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang
yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut,
1. Shidqun Niyah
Artinya
benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam
mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus
sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian
kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam
persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.
2. Shidqul ‘Azm
Artinya
benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji
pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam
pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam
mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar
dalam memantapkan jiwa.
3. Shidqul Iltizam
Artinya
benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam
melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar
dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam
menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir,
dan ikhtiyar.
4. Shidqul ‘Amaal
Artinya
benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak
pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam
langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal.
Benar dalam tiap gerak anggota badan.
Nah,
mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju
pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan
caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu
semakin mendekat. Jikalau Ash
Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang
pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan
benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥
Apa
kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman,
ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam
pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa.
Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan
adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan
bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah.
Maka
jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:
1. Persiapan Ruhiyah (Spiritual)
Ini
meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung
jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga
untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur.
Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur
hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.
2. Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah
menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu
tentang Ad Diin.
Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk
menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan
banyak ilmu yang lain.
3. Persiapan Jasadiyah (Fisik)
Jika
memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus
segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau
gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid
ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus
disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan.
Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan.
Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan
memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas
sperma. Nah.
4. Persiapan Maaliyah (Material)
Konsep
awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu
keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial #Nikah sama
sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, & kendaraan yang
harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan
nafkah, wujudnya upaya untuk itu, & kemampuan mengelola sejumlah apapun ia.
Maka
memulai per nikahan, BUKAN soal apa kita sudah punya tabungan, rumah, &
kendaraan. Ia soal kompetensi & kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn
Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah,
perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi
‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja
jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.
Maka
sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja
-apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24:
32). Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah & executable. JANGAN
masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.
Kemapanan
itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk
menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang
disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan
cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute
Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.
5. Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)
Artinya,
siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana
bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah
penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.
Nah,
ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses
yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai
sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses
persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan
sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa
yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah?
Ya.
Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut
satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.
“Wahai
sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH,
maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan
dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia
berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR
Al Bukhari dan Muslim)
Hanya
ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah.
Apa itu ba’ah?
Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang
utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya,
menurut Imam Asy Syaukani adalah al
mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain
adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni
kemampuan jima’.
Maka,
kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda.
Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi
basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik,
Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau,
ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al
Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu
mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya
kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di
tengah masyarakat itu.
Nah.
Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah
dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen.
Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya
ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah
adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang
lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan
lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:
“Ada
tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab
yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi
menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan
Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Pernah
di sebua milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan
seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu
membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada,
sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk
mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal
semisal malas, gengsi, dan ma’shiat.
Kata
‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu
kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan
kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja
sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita
alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.
Tapi
begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang
berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada
kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi
sudah ada isteri yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar.
Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,
“Maka aku katakan kepada mereka:
“Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.
Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan
harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh
10-12)
Pernah
membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah
beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah
menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah
kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri.
Ingat kata kuncinya; jujur,
syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah
saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat
selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.
“Mengapa
kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)
Begitulah.
Selamat menyambut kawan sejati, sepenuh cinta.
Post a Comment