Remaja dan Politik

Oleh : O. Solihin
Soal politik di negeri kita lagi panas-panasnya. Belum lama digelar Pilkada serentak di 171 daerah pada 27 Juni 2018 lalu. Sudah terpilih pula kepala daerah yang ikut berkompetisi di ajang pilkada tersebut. Tentu saja, karena dalam sistem demokrasi yang menjadi pemenang adalah yang terbanyak mendapatkan ‘suara’ pemilih, maka orang yang dianggap sudah cukup umur punya hak untuk menentukan pilihan politiknya. Nah, remaja termasuk yang diikutkan dalam proses mendulang suara, yakni minimal usia 17 tahun yang tercatat di KTP.
Memang sih, yang baca tulisan ini mungkin saja ada yang remaja di rentang usia 13-18 tahun. Jadi, tema pembahasan ini masih nyambung kok. Kalo yang udah ikutan ngasih hak pilih mestinya ngerti, ya. Buat kamu yang masih unyu-unyu perlu juga tahu. Why? Iya, soalnya nanti bisa jadi kamu juga ikutan ngasih hak pilih. Jadi perlu tahu juga pada akhirnya. Iya, kan? Eh, tapi sebelum ngasih hak pilih, baca dulu sampe tuntas pembahasan ini, ya!
Oya, kamu perlu tahu juga lho bahwa urusan politik sebenarnya bukan melulu kekuasaan yang digambarkan dari berlomba-lombanya beberapa orang untuk menjadi pemimpin daerah atau pemimpin negara (apalagi di 2019 negeri kita mau ngadain ‘hajatan politik’ dalam rangka nyari pemimpin negara, lagi). Nggak cuma itu, Bro en Sis.
Lalu apa? Begini, urusan politik itu amat luas. Memang, yang kamu atau para orangtua pahami saat ini bahwa politik itu identik dengan meraih kekuasaan. Nggak bisa disalahin seratus persen, karena memang faktanya demikian. Kita udah disuguhi bahwa politik itu adalah partai, kampanye, pemilu (pilkada), dan ujungnya ada yang disebut kepala daerah atau pemimpin negara. Seolah hanya dibatasi pada masalah itu saja. Bener nggak? Kalo kamu peka dalam merasakan, mestinya kamu menganggukkan kepala.

Apa itu politik?
Kamu tidak sepenuhnya salah dalam memahami politik selama ini. Mengapa? Karena menurut KBBI alias Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik diartikan sbb:
po·li·tik n 1 (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan): bersekolah di akademi –; 2 segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau thd negara lain: — dl dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dl bidang — , ekonomi, dan kebudayaan; partai –; organisasi –; 3 cara bertindak (dl menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan. Catatan: yang ditulis “–“ diisi politik.
Nah, dengan penjelasan seperti ini, juga secara fakta bisa dengan mudah dilihat dalam kehidupan sehari-hari, maka politik lebih identik dengan meraih kekuasaan, paling nggak urusan negara, deh.
Itu sebabnya, kita bisa lihat sendiri saat ini, persaingan antar calon pemimpin berimbas juga kepada para pendukung masing-masing kubu. Akhir-akhir ini, kalo di media sosial sepertinya kamu udah hapal betul dengan istilah kecebong dan kampret, kaum bumi datar, bani taplak, bani serbet, golongan IQ 200 sekolam, dan segala sebutan yang bikin ubun-ubun ngebul dan kuping panas. Saya pribadi, walau belum pernah terlibat dalam dukung-mendukung pilihan politik, risih juga dengan sebutan-sebutan kayak gitu. Tapi, gimana lagi, sepertinya kedua kubu merasa puas dan bahagia sesuai hawa nafsunya. Hadeuuh, parah memang.
Kondisi seperti ini, bagi sebagian orang yang enggan terlibat dalam sebuah pemihakan, akan menilai bahwa itulah akibat pilihan politik yang tidak rasional atau kecintaan membabi-buta terhadap tokoh yang didukungnya. Bagi mereka yang bersemangat mendukung tokoh pilihannya, keberadaan fakta ini seperti kian menguatkan untuk terus saling menyerang. Bahaya juga sih. Kita seperti berebut pepesan kosong. Padahal, bisa jadi orang yang kita cinta dengan orang yang kita benci malah saling berpelukan. Kita yang di bawah malah doyan musuhan sesama pendukung. Ironi banget, kan? So, jangan cinta buta. Punya pilihan silakan, tapi bego jangan.

Politik menurut Islam
Sobat, setelah tahu pengertian politik menurut KBBI dan realita yang bisa kita saksikan di negeri ini, kita perlu pembanding lho, yakni pengertian politik Islam.
Bagaimana pengertian politik menurut Islam? Dalam kitab Mafahim Siyasiyahdijelaskan bahwa politik adalah ri’ayatusy syu’unil ummah dakhiliyan wa kharijiyan bi hukmin mu’ayanin (pengaturan urusan ummat di dalam negeri dan luar negeri, dengan hukum tertentu). Kalo kita bicara Islam, maka pengaturan tersebut menggunakan aturan Islam. Kalo bicara kapitalisme, maka hukum yang digunakan adalah kapitalisme. Begitu pula dengan sosialisme dan komunisme.
Nah, adapun pengaturan urusan umat tidak melulu urusan pemerintahan seperti sangkaan banyak orang selama ini, melainkan termasuk di dalamnya aspek ekonomi (iqtishadi), pidana (uqubat), sosial (ijtima’i), pendidikan (tarbiyah) dan lain-lain.
Buktinya apa tuh? Islam, udah ngatur masalah ini sejak pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, lalu dilanjut generasi Khulafa ar-Rasyidin, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, salafus shalih sampe terakhir di Turki. Sepanjang rentang waktu itu, masyarakat dan negara diatur oleh Islam. Sayangnya, sejak tanggal 3 Maret 1924, yakni saat Musthafa Kemal at-Taturk, pria jahat dan ambisius keturunan Yahudi menghancurkan pemerintahan Islam di Turki atas bantuan agen-agen Inggris, Islam nggak lagi diterapkan sebagai sebuah ideologi negara. Sampe sekarang, lho. Kamu perlu catat ini.
Akibatnya, pemuda dan pemudi Islam masa kini nggak nyetel dalam memahami Islam sebagai sebuah ideologi negara. Generasi Islam kontemporer cuma mengenal dan memahami Islam sebagai ibadah ritual belaka. Jadinya, nggak ngeh kalo Islam tuh sebuah ideologi. Akibatnya, ketika memahami istilah politik dalam pandangan Islam aja suka kerepotan. Kalo udah gitu, pastinya juga nggak bakalan sadar politik. Beneran.
Bukti lainnya, ketika para ulama mencoba mengenalkan politik atau sebagian ada yang terjun dalam politik praktis (maksudnya jadi pengurus parpol atau dicalonkan jadi pejabat negara atau berkampanye melawan kezaliman penguasa), langsung dinyinyirin karena dianggap udah bermain politik. Menurut kalangan ini, ulama harusnya ngurus umat aja, ibadah, dan sejenisnya. Mungkin mereka khawatir ulama jadi ikut-ikutan rusak. Atau, bisa juga khawatir kalo ulama ikut terjun ke politik praktis bisa merusak rencana para politisi busuk. Wallahu a’lam.
Salam,
O. Solihin, Penulis Buku dan Motivator Remaja
Powered by Blogger.
close