Nak, dalam Tawadhu, Ada Kebaikan Dunia dan Akhirat!


Oleh: Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi., M.Psi.

Nak, Allah Subhanahu wa Taala  memerintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang beriman untuk tawadhu—tunduk patuh menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun sumbernya dan tidak menganggap rendah orang lain (QS Al-Hijr: 88; As-Syuara:215), Allah memerintahkan aku agar tawadhu, agar jangan sampai ada salah seorang yang menyombongkan diri pada orang lain dan jangan sampai ada yang congkak pada orang lain. (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah).

Sebaliknya, Allah Azza wa Jalla sangat membenci orang-orang yang takabur/sombong—tidak boleh ada satu makhluk pun yang berhak menyandang sifat takabur karena Allah Taala berfirman dalam hadits Qudsi, Kemuliaan adalah sarung-Ku, dan sombong adalah jubah-Ku. Siapa yang menyaingiku, maka Aku akan mengazabnya. Allah mengharamkan orang yang takabur/sombong dari mendapatkan nikmat hidayah dan nikmatnya mentadaburi ayat-ayat-Nya (QS Al-Araf:146), dan orang yang takabur/sombong termasuk dalam tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Taala pada hari Kiamat, tidak disucikan oleh Allah Taala, tidak dilihat oleh Allah Taala, dan mendapatkan azab yang pedih (HR Muslim dan An-Nasai).

Siapa yang di dalam hatinya ada satu dzarrah rasa takabur, maka Allah akan memasukan wajahnya ke dalam neraka. (HR Ahmad).

Nak, tawadhu akan membuat pemiliknya mulia dan tinggi derajatnya di mata Allah Azza wa Jalla dan di mata manusia. Allah Taala memuji orang-orang yang tawadhu, Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Alah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Maidah:54)

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Allah tidak menambahi seseorang yang memberi maaf kecuali kemuliaan dan seseorang yang tawadhu pasti diangkat oleh Allah (HR Muslim dan At-Tirmidzi)—diangkat kemuliaan dan kehormatannya; Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Qashash:83).

Orang yang tawadhu akan terbebas dari lelahnya persaingan materi dan kompetisi membanggakan diri.
Nak, orang yang tawadhu selalu bisa membaur secara baik dengan orang banyak karena orang tawadhu menganggap mereka adalah teman dan seorang teman biasanya bersikap rendah hati terhadap teman yang lainnya—persinggungan, konflik di antara mereka tidak akan atau jarang terjadi.

Orang yang tawadhu mau mengajak berbicara dengan anak, berbaur dengan mereka, memberi salam kepada mereka, dan bermain bersama-sama mereka.

Orang yang tawadhu tidak keberatan untuk berbaur satu majelis dengan orang-orang fakir miskin, para budak,  dan para pembantu.

Orang yang tawadhu memenuhi permintaan kaum fakir miskin, manusia biasa, serta memberikan bantuan kepada mereka.

Orang yang tawadhu memenuhi undangan siapa saja yang mengundangnya, baik miskin atau kaya, menyertai mereka dalam suka dan duka, bahkan tetap bersemangat memenuhi undangan orang miskin meskipun makanan mereka sedikit dan tidak menggerakan nafsu makan.

Nak, orang yang tawadhu membantu keluarganya, termasuk membantu mengerjakan urusan pekerjaan rumah tangga karena Allah Taala memerintahkan membangun  dan melanggengkan rumah tangga di atas dasar rasa mawaddah, cinta kasih, dan ketenteraman—Tidak akan terjadi kecuali kedua orang suami istri berlapang dada  satu sama lain, tidak boleh ada yang menangnya sendiri.

Orang yang tawadhu menunjukkan kemauan untuk membantu, melayani, dan berbuat baik kepada orang lain tanpa disertai dengan perasaan tidak enak dan mengganjal.

Nak, orang yang tawadhu memakan makanan jika jatuh dan masih mungkin dimakan. Jika ada makanan yang jatuh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak membiarkannya, tetapi mengambilnya dan membersihkannya dengan membuang kotoran seperti debu yang menempel padanya, lantas memakannya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam selalu menjilati jari-jarinya tiga kali setelah makan. Jika makanan kalian jatuh, maka buanglah kotorannya dan makanlah, dan jangan meninggalkannya untuk setan.

Penulis: Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi., M.Psi.Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia

Powered by Blogger.
close