Tawadhu dalam Mendidik


Oleh: Galih Setiawan

Tawadhu merupakan bagian dari sifat mulia, yang dapat mengantarkan pelakunya pada nilai-nilai kemuliaan dan keagungan.

Sifat tawadhu juga merupakan sifat mutlak bagi setiap hamba kepada Tuhannya.

Sikap tawadhu dapat menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai di antara sesama. Sifat tawadhu itu sangat dibutuhkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan.

Setiap orangtua juga dituntut harus bisa bersikap tawadhu karena aktivitas sehari-harinya pasti selalu berinteraksi dengan anak-anaknya. Orangtua yang tawadhu tidak akan menganggap remeh setiap ucapan anak. Mereka akan menganggap anak-anak mereka yang usianya lebih muda pasti akan lebih suci dan terjaga dari dosa ketimbang mereka yang sudah hidup di dunia berpuluh tahun lamanya.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Imam Al Ghazali, ”Jika engkau melihat anak kecil, katakanlah dalam hatimu, Ia belum pernah bermaksiat kepada Allah. Sedangkan aku telah bermaksiat. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku. Jika engkau melihat orang yang lebih tua katakanlah, Orang ini telah beribadah sebelum aku melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.

Sifat tawadhu yang dimiliki oleh orangtua akan memberi dampak positif bagi orangtua maupun anak. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu sehingga seseorang tidak bersikap sombong pada yang lainnya dan tidak mendzalimi satu sama lainnya” [HR. Muslim].

Tawadhu dapat mengikis sifat sombong. Kesombongan bisa mengakibatkan anak menjauhi orang. Mereka juga akan menolak ilmu dan nasehat yang diberikan orangtua. Padahal, anak akan mampu menyerap nasehat dengan baik saat anak dekat dengan orangtuanya. Dan salah satu faktor yang dapat memicu kedekatan tersebut adalah sifat tawadhu.

Nabi Musa alaihissalam pernah ditegur oleh Allah ketika beliau menyangka bahwa tak ada seorang pun dari manusia yang lebih pandai darinya. Bentuk teguran Allah adalah dengan mempertemukan beliau dengan Nabi Khidir. Nabi Musa pun banyak belajar ilmu dari Nabi Khidir yang tidak diketahui olehnya sebelumnya. Kisah ini tertuang dalam Al-Quran surat AL-Kahfi ayat 60-82.

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam merupakan gambaran praktik hidup tawadhu yang diperintahkan oleh Allah. Beliau bersikap tawadhu terhadap para sahabatnya.

Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Ahmad, At-Tirmidzi dan Adh-Dhiya Al-Maqdisi dari Anas bin Malik, ia berkata, “Tidak ada orang yang paling dicintai oleh para sahabat melebihi Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Walau demikian ketika melihat Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam mereka tidak berdiri, karena mengetahui bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak menyukai hal itu.

Al-Mulla Ali Al-Qaary dalam menjelaskan hadits ini berkata, “Karena mereka (para sahabat) mengetahui Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam membenci mereka berdiri (untuk memberikan penghormatan), sebagai bentuk tawadhu Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam kepada Tuhannya dan menyelisihi kebiasaan orang-orang yang sombong dan orang-orang yang durhaka.

Dalam hadits yang lain, diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Bacalah kepadaku Al-Quran.” Saya berkata, “Ya Rasulullah! Apakah saya membacakan untuk Anda, padahal kitab ini diturunkan pada Anda?” Beliau bersabda, “Saya rindu untuk mendengarkannya dari selainku.” Saya membaca surat An-Nisa, dan ketika sampai pada ayat, 
Artinya : “Maka Bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”[QS. An-Nisa (04) : 41]
Saya mengangkat kepala atau salah seorang di samping saya mengerling saya, dan saya melihat air mata beliau bercucuran.

Termasuk yang paling berat bagi para penuntut ilmu dan ulama adalah mendengar dari orang yang lebih rendah darinya dalam keutamaan dan keilmuan. Pun demikian bagi orangtua. Salah satu hal yang berat adalah mendengar dari anak yang tentunya usianya jauh lebih muda.

Namun Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, orang yang paling mulia dan paling tinggi kedudukan dan tempatnya meminta kepada Abdullah bin Masud, salah seorang muridnya, untuk memperdengarkan kepada beliau bacaannya. Alangkah tinggi ke-tawadhu-an beliau. Semoga kita bisa menjadi orangtua yang tawadhu. Aamiin...||


Powered by Blogger.
close