Tak Ada Jaminan Sejahtera dengan Meninggalkan Dakwah

Oleh : Iwan Yanuar 

Hari itu saya bertemu dengan kawan lama. Ia yang sudah keluar dari barisan perjuangan. Keluar karena merasa langkah perjuangan tak memberikannya ‘apa-apa’. Apa ‘apa-apa’ yang ia maksud? Kesejahteraan dan kemakmuran.

Masih terngiang di telinga saya perkataannya, “Ketika saya kumpul dengan kawan-kawan sekolah, mereka lebih baik dari saya.” Baik yang ia maksudkan adalah memiliki kehidupan yang mapan dan keberlimpahan dunia.

Saat itu ia tengah meratapi nasib. Kesulitan demi kesulitan hidup mendera. Ia merasa kawan-kawan seperjuangan tak mendukung dan memberi apa-apa. Ia gelisah waktu itu. Berada di persimpangan. Meski saya tahu arahnya, separuh langkahnya sudah menuju jalan keluar dari barisan perjuangan.

Saya katakan dengan lembut. Engkau tidak sendirian. Banyak pejuang yang juga pernah merasakan kegetiran sementara orang lain ada dalam manisnya dunia. Mereka pun pernah hampir tergoda untuk sesali pilihan hidup. Memilih untuk menunda punya ‘apa-apa’ karena sebuah obsesi. Obsesi yang seringkali sulit dipahami logika manusia biasa.

Sejujurnya, pejuang syariah dan khilafah adalah manusia. Mereka pun bisa terpukau melihat insan lain menggenggam dunia yang berkilau. Ketika orang-orang yang kau kenal bertanya; kenapau engkau memilih hidup seperti ini? Mata mereka memandang apa yang kau punya, lalu mereka bandingkan dengan apa yang ada dalam saku mereka, rekening mereka, dan hati mereka. Terkadang nafas seorang hamba Allah bisa tercekat di tenggorokan melihat dirinya sendiri. Ada sedikit perasaan nelangsa di sudut hati yang kering.

Tapi mari ingatlah pesan Sang Pemilik Alam, Penggenggam Segala Kekayaan, karena Dialah Yang Maha Kaya dan Mengayakan hamba-hamba-Nya:

Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (QS. Asy-Syura[42]: 20).

Jalan hidup ini memang pilihan. Tak ada yang memaksakan, kitalah yang memilih dengan kesadaran dan kehangatan iman. Maka sang Pemilik Alam akan memenuhi janji-Nya sebagaimana telah Ia firmankan. Maka jangan pernah sesali pilihan hidup ini, karena di ujung jalan ada gerbang kebahagiaan sejati. Telah banyak pejuang sejati yang nyaris tak mendapatkan apa-apa di dunia untuk menggenggam ridlo Tuhan mereka. Bahkan mereka mengorbankan apa yang mereka punya untuk bisa berada di jalan ini.

Syahdan Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah saw. Ia diutus oleh Allah untuk menanyakan keadaan Abu Bakar ra. yang kala itu berada di sebelah sang Nabi. Ia mengenakan jubah yang tak layak disebut jubah, karena hanya sehelai kain panjang yang dibelah dua lalu ia kenakan pada tubuh kurusnya yang menjulang.

Jibril bertanya kepada Rasulullah saw., mengapa pakaian itu yang dikenakan oleh Abu Bakar. Tentu sebuah pertanyaan retoris karena Allah telah tahu jawabannya. Sang Nabi menjawab hal itu dilakukan Abu Bakar karena semua hartanya telah dihabiskan sebelum penaklukkan Mekkah.

Jibril lalu berkata, “Katakan padanya, duhai Muhammad; ‘Rabbmu menanyakan kepadanya ‘apakah ia ridlo kepadaKu dengan kefakirannya ataukah ia marah?’.”

Rasulullah saw. meneruskan perkataan Jibril kepada Abu Bakar. “Duhai Abu Bakar, ini Jibril membacakan salam untukmu dari Allah Ta’ala, dan Dia berkata, ‘Apakah engkau ridlo kepadaKu dalam kefakiranmu, ataukah engkau marah?’.”

Abu Bakar terhenyak mendengar ucapan Rasulullah saw. Sambil bercucuran air mata ia menjawab, “Apakah kepada Rabbku aku marah? Aku ridlo pada Rabbku, aku ridlo pada Rabbku.”(Hilyatul Auliya, juz &, hal 105, Maktabah asy-Syamilah).

Janganlah ratapi apa yang sedang kita dapatkan hari ini, lalu mata terpaku pada apa yang orang lain punya. Apa yang kita punya saat ini hanyalah sementara, bukan sebenarnya kepunyaan kita. Di sisi Allah jualah sebenarnya yang kita minta.

Siapa yang menginginkan bagiannya di dunia, maka akan Allah berikan bagiannya tapi tak ada untuknya di akhirat. Tapi siapa yang menginginkan bagian di akhirat, akan Allah tambahkan bagiannya. Allahu Akbar! Belum cukupkah janji Allah itu menggetarkan hati kita?

Sungguh yang dicemaskan para waliyullah, para salafus sholeh, adalah ketika rizki mereka berlipat-lipat di dunia, dan bukan sebaliknya. Rasa takut menjalar ke pembuluh darah mereka, khawatir keberlimpahan ini adalah istidraj dari Allah, bukan nikmat yang sebenarnya.

Kawan saya itu saya temui sekarang dalam keadaan yang berbeda. Saya tak melihat kesegaran dan cahaya benderang yang dulu saya lihat padanya. Ia nampak kusam. Ketika saya tanyakan dunianya, ternyata juga tak jua beranjak dari keadaan saat masih berjuang. Tetap sama.

Ah, andaikan ia mau bersabar dan merenung, ia akan paham, bahwa keadaannya jauh lebih mulia di sisi Rabbnya saat berada dalam perjuangan. Andaikan ia ridlo dengan qodlo Allah, bersabar, dan tetap berjuang, pasti Allah muliakan kedudukannya.

Barakallahu fiikum Akhwatifillah.
Powered by Blogger.
close