Menautkan Hati Anak Kepada Masjid
Oleh : Syaiful Anshor
Apa kriteria anak yang hebat menurut Anda? Mungkin akan ada banyak jawaban untuk pertanyaan sederhana ini. Bisa jadi, ada yang menjawab anak hebat itu jika bisa mengangkat besi puluhan kilo. Ada juga yang beranggapan anak hebat itu jika berbadan sehat, dan kuat hingga mampu lari maraton puluhan kilo meter. Terakhir, bisa jadi ada yang beranggapan anak hebat itu jika memiliki IQ di atas rata-rata dan punya segudang prestasi.
Apakah kriteria itu salah? Tidak. Saha-sah saja. Tapi kalau mau menelisik sebentar saja, sungguh tak semua anak yang diklaim hebat itu ternyata mampu melangkahkan kaki ke masjid ketika mendengar kumandang azan. Kaki yang awalnya kuat dan bisa lari puluhan kilo meter, mendadak tak kuat untuk melangkah ke masjid yang hanya berjarak beberapa meter. Tangan yang berotot, kuat, dan mampu mengangkat beban puluhan kilo seolah tak berdaya untuk diayunkan.
Begitu juga otaknya yang ber-IQ tinggi, seolah hilang ditelan bumi. Nalarnya tak jalan. Seolah tak bisa berpikir objektif. Tak bisa memilih mana yang baik dan tidak. Rasa malas telah mendominasi. Padahal, dengan kecerdasan dan pengetahuannya, dia tahu bahwa pahala shalat berjamaah di masjid sangat luar biasa: 27 derajat. Alhasil, anak tersebut hanya jadi pendengar azan, bukan orang yang menyambut suara azan. Inilah the looser sejati!
Lalu, kenapa ini bisa terjadi? Ternyata sehatnya fisik, besarnya otot, kuatnya tenaga, serta cerdasnya akal dan banyaknya pengetahuan, tidak serta merta menjamin seorang anak dapat berangkat ke masjid. Seluruh potensi dahsyat itu seolah tak berfungsi. Baginya, shalat berjamaah di masjid sesuatu yang sangat berat, dan sulit. Lebih sulit dari sekadar lari berpuluh-puluh kilo meter, dan mengangkat puluhan kilo gram besi.
Tulisan selanjutnya bisa dibaca di Majalah Hidayatullah edisi Juli 2019 ini.
Syaiful Anshor, Penulis Buku dan Wartawan
Post a Comment