Bersih dan Luruskan Niat
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Ada hadis yang selama bertahun-tahun menghiasi dinding garasi saya, tempat saya biasa menulis dan berdiskusi. Inilah hadis yang saya sangat ingin menulis uraiannya untuk anak muda maupun anak-anak yang masih di bawah sepuluh tahun. Abu Hurairah radhiyaLlahu‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
.
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada seorang mukmin yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikannya sendiri-sendiri. Bersungguh-sungguhlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan hanya kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa suatu musibah, janganlah kamu katakan: ‘Seandainya aku berbuat demikian, pastilah akan demikian dan demikian’ Akan tetapi katakanlah: ‘Qadarullah wa maa syaa fa’ala (Allah telah mentakdirkan hal ini dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi)’. Sesungguhnya perkataan ‘لَوْ (seandainya)’ membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Ahmad, Muslim, dan yang lainnya).
.
Hadisnya sama, tetapi kedalaman memahami maupun menghayati dapat berubah seiring kadar penerimaan, perenungan dan keyakinan kita. Berjalannya waktu dan bertambahnya umur tidak dengan sendirinya menjadikan kita semakin matang dalam memahami, tidak pula menjamin semakin kuat meyakini. Betapa banyak yang semakin bertambah umurnya, imannya seakan semakin mendekati habis sebagaimana jatah umurnya yang semakin mendekati kematian. Betapa banyak yang semakin banyak berbicara agama justru semakin menjauhkannya dari agama. Sebab saat lisannya bicara agama, hatinya sedang menghendaki dunia melalui perkataannya. Na’udzubiLlahi min dzaalik tsumma na’udzubiLlahi min dzaalik.
.
Kembali pada hadis tadi. Di faedah merenungi hadis itu ialah lebih kokohnya hati, tak mudah terombang-ambing oleh apa yang sudah berlalu. Berbekal hadis itu pula kita dapat lebih sigap menyikapi keadaan dengan tetap memperhatikan amanah yang berkait dengannya. Ada sedih ketika panitia mengabarkan acara ditunda disebabkan Banjarbaru dikepung asap sebagaimana halnya Riau. Tetapi bukan penundaan itu yang bikin sedih, melainkan kepungan asap yang rupanya harus diderita oleh banyak warga bangsa di berbagai wilayah Indonesia. Terbayang wajah anak-anak, bayi dan lansia. Terbayang pula betapa beratnya mereka yang memiliki potensi asma. Tanpa asap pun, bernafas berat tidur pun susah saat asma datang. Terlebih jika bertambah-tambah oleh kepungan asap yang begitu pekat.
Ada duka ketika tak jadi berangkat ke Papua. Bukan disebabkan banyaknya yang meminta untuk dijadwalkan di tanggal yang sama. Tidak. Sama sekali tidak. Duka itu ada karena mengingati nasib bangsa ini. Terlebih belum lama saya membaca buku Prelude to Colonialism: The Dutch in Asia karya Jurrien Van Goor yang menuturkan proses awal penjajahan Belanda di Indonesia. Haruskah akan ada penjajahan kembali di negeri ini?
Kalau pun ada airmata yang harus menetes, maka yang paling perlu ditelisik dan ditangisi adalah niat dalam setiap langkah. Niat inilah yang menentukan kebaikan dan barakah setiap kali menerima atau menolak suatu acara. Jadi atau tidak akan tercatat sebagai kebaikan jika niatnya lurus bersih. Adapun kalau kemudian tidak jadi, resepnya sangat sederhana, yakni menggunakan kesempatan itu untuk bersungguh-sungguh dalam hal-hal yang bermanfaat. Ini berlaku untuk setiap waktu dalam berbagai kesempatan.
Mohammad Fauzil Adhim, Motivator dan Penulis Buku
Ada hadis yang selama bertahun-tahun menghiasi dinding garasi saya, tempat saya biasa menulis dan berdiskusi. Inilah hadis yang saya sangat ingin menulis uraiannya untuk anak muda maupun anak-anak yang masih di bawah sepuluh tahun. Abu Hurairah radhiyaLlahu‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
.
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada seorang mukmin yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikannya sendiri-sendiri. Bersungguh-sungguhlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan hanya kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa suatu musibah, janganlah kamu katakan: ‘Seandainya aku berbuat demikian, pastilah akan demikian dan demikian’ Akan tetapi katakanlah: ‘Qadarullah wa maa syaa fa’ala (Allah telah mentakdirkan hal ini dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi)’. Sesungguhnya perkataan ‘لَوْ (seandainya)’ membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Ahmad, Muslim, dan yang lainnya).
.
Hadisnya sama, tetapi kedalaman memahami maupun menghayati dapat berubah seiring kadar penerimaan, perenungan dan keyakinan kita. Berjalannya waktu dan bertambahnya umur tidak dengan sendirinya menjadikan kita semakin matang dalam memahami, tidak pula menjamin semakin kuat meyakini. Betapa banyak yang semakin bertambah umurnya, imannya seakan semakin mendekati habis sebagaimana jatah umurnya yang semakin mendekati kematian. Betapa banyak yang semakin banyak berbicara agama justru semakin menjauhkannya dari agama. Sebab saat lisannya bicara agama, hatinya sedang menghendaki dunia melalui perkataannya. Na’udzubiLlahi min dzaalik tsumma na’udzubiLlahi min dzaalik.
.
Kembali pada hadis tadi. Di faedah merenungi hadis itu ialah lebih kokohnya hati, tak mudah terombang-ambing oleh apa yang sudah berlalu. Berbekal hadis itu pula kita dapat lebih sigap menyikapi keadaan dengan tetap memperhatikan amanah yang berkait dengannya. Ada sedih ketika panitia mengabarkan acara ditunda disebabkan Banjarbaru dikepung asap sebagaimana halnya Riau. Tetapi bukan penundaan itu yang bikin sedih, melainkan kepungan asap yang rupanya harus diderita oleh banyak warga bangsa di berbagai wilayah Indonesia. Terbayang wajah anak-anak, bayi dan lansia. Terbayang pula betapa beratnya mereka yang memiliki potensi asma. Tanpa asap pun, bernafas berat tidur pun susah saat asma datang. Terlebih jika bertambah-tambah oleh kepungan asap yang begitu pekat.
Ada duka ketika tak jadi berangkat ke Papua. Bukan disebabkan banyaknya yang meminta untuk dijadwalkan di tanggal yang sama. Tidak. Sama sekali tidak. Duka itu ada karena mengingati nasib bangsa ini. Terlebih belum lama saya membaca buku Prelude to Colonialism: The Dutch in Asia karya Jurrien Van Goor yang menuturkan proses awal penjajahan Belanda di Indonesia. Haruskah akan ada penjajahan kembali di negeri ini?
Kalau pun ada airmata yang harus menetes, maka yang paling perlu ditelisik dan ditangisi adalah niat dalam setiap langkah. Niat inilah yang menentukan kebaikan dan barakah setiap kali menerima atau menolak suatu acara. Jadi atau tidak akan tercatat sebagai kebaikan jika niatnya lurus bersih. Adapun kalau kemudian tidak jadi, resepnya sangat sederhana, yakni menggunakan kesempatan itu untuk bersungguh-sungguh dalam hal-hal yang bermanfaat. Ini berlaku untuk setiap waktu dalam berbagai kesempatan.
Mohammad Fauzil Adhim, Motivator dan Penulis Buku
Post a Comment