Bukan Karena Cinta Kita Bahagia


Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Apakah yang paling berharga bagi tegaknya kebaikan sebuah keluarga? Betapa banyak yang meletakkan cinta sedemikian tinggi, begitu tingginya sampai-sampai tak mampu ia menjangkaunya. Ia merindui luapan cinta seperti merindui purnama di siang hari. Ia mengira bahagianya nikah akan hadir saat cinta mengalir, tetapi semakin ia merindui, semakin dahaga ia rasakan di segenap jiwanya; seumpama haus di tengah padang pasir, tetapi berusaha dipuaskan dengan air garam.

Sebaliknya, betapa banyak orang yang menikah tanpa sibuk bertanya, adakah cinta itu telah menyelusup di jiwa atau tidak. Ia tak risau dengannya. Hanya barakah yang ia ingin raih dengan gigih. Dan tak akan berlimpah barakah sebuah pernikahan kecuali dengan hal-hal yang Allah Ta'ala ridhai. Maka berjuang meraih barakah berarti berupaya memperbuat hal-hal yang menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla ridha.

Tentang cinta, Abu Ath-Thayyib Al-Mutanabbi berkata:
فَإِنَّ قَليلَ الحُبِّ بِالعَقلِ صالِحٌ وَإِنَّ كَثيرَ الحُبِّ بِالجَهلِ فاسِدُ

"Maka sesungguhnya, sedikitnya cinta yang berdiri di atas lurusnya akal akan membaguskan (mendatangkan kebaikan besar). Sebaliknya cinta berlimpah yang beriring kedunguan justru merusak menghancurkan."

Apakah kedunguan seseorang tentang cinta? Rupa-rupa bentuknya, macam-macam jenisnya. Mengira cinta akan menyempurnakan orang yang dicintai, berharap banyak tanpa berbuat dan berbagai macam lainnya sehingga justru memudahkan ia mengalami kekecewaan yang amat dalam untuk sesuatu yang sebenarnya biasa.

Teringatlah aku pada perkataan Amirul Mukminin 'Umar bin Khaththab radhiyaLlahu anhu, “Sangat sedikit rumah-tangga yang dibangun di atas cinta. Namun kebanyakan manusia bergaul dengan (menikahi) pasangannya atas dasar Islam, menyambung nasab ataupun untuk berbuat ihsan.”

Mohammad Fauzil Adhim, Motivator dan Penulis Buku
Foto google
Powered by Blogger.
close