Islam, Seksualitas dan Liberalisme
Oleh: Fahmi Salim, MA
DALAM syariat para nabi terdapat satu prinsip muhkamat yang tak pernah berubah sepanjang masa, yaitu kewajiban menjaga akhlak mulia dan pengharaman zina serta seluruh perbuatan keji. Prinsip ini merupakan perkara muhkamat paling agung di bidang etika dan perlindungan keluarga. Karena itulah, Allah ta’ala menggolongkan prinsip ini bersama perkara muhkamat lainnya dalam rangkaian satu ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kejahatan terbesar yang dilakukan terhadap umat manusia. Artinya, tindakan yang membenarkan apalagi melegalkan perbuatan-perbuatan keji adalah salah satu bentuk dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Allah berfirman:
DALAM syariat para nabi terdapat satu prinsip muhkamat yang tak pernah berubah sepanjang masa, yaitu kewajiban menjaga akhlak mulia dan pengharaman zina serta seluruh perbuatan keji. Prinsip ini merupakan perkara muhkamat paling agung di bidang etika dan perlindungan keluarga. Karena itulah, Allah ta’ala menggolongkan prinsip ini bersama perkara muhkamat lainnya dalam rangkaian satu ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kejahatan terbesar yang dilakukan terhadap umat manusia. Artinya, tindakan yang membenarkan apalagi melegalkan perbuatan-perbuatan keji adalah salah satu bentuk dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (33) الأعراف
“Katakanlah wahai Muhammad, Rabbku hanya mengharamkan segala PERBUATAN KEJI yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zhalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu memperskeutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS: 7: 33)
Tindak kejahatan yang disebutkan dalam ayat inilah yang menjadi sebab terjadinya problematika umat manusia kontemporer, dimana kaum munafik memiliki andil besar dalam upaya menyebarkannya.
Tujuan syariat para nabi adalah membangun masyarakat Islami di atas pondasi akhlak yang mulia, kemudian menjaganya dari segala sesuatu yang dapat membuatnya lemah atau lenyap.
Prinsip menjaga kesucian diri adalah prinsip agung yang dinyatakan oleh Islam sejak permulaan dakwahnya. Ja’far bin Abi Thalib telah menyampaikan prinsip ini di hadapan Raja Najasyi saat beliau menjawab pertanyaan terbesar kebudayaan dunia lama, yaitu, “Apa yang dibawa oleh Islam untuk umat manusia?”
Para pemuka jahiliyah, dan para pemuka agama-agama terdahulu mendengarkan jawaban yang diberikan oleh Ja’far ketika ia berkata kepada Raja Najasyi;
“Wahai Paduka Raja, dahulu kami adalah kaum jahiliyah, kami menyembah berhala, makan bangkai, melakukan PERBUATAN KEJI, memutus hubungan kekerabatan, berbuat buruk terhadap tetangga, kaum kuat memakan kaum lemah. Kami masih dalam konsisi itu hingga Allah mengutus kepada kami seorang utusan dari bangsa kami yang kami kenal nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kesucian dirinya. Lantas rasul itu mengajak kami untuk mengesakan dan menyembah Allah dan melepaskan diri dari ibadah yang kami dan bapak-bapak kami lakukan kepada selain-Nya, yaitu penyembahan bebatuan dan berhala-berhala.”
Dia perintahkan kami untuk berbicara jujur, menunaikan amanah, menyambung kekerabatan, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi hal-hal yang diharamkan dan menumpahkan darah, melarang perbuatan keji, berkata dusta, memakan harta anak yatim dan menuduh zina wanita-wanita suci. Dia juga perintahkan kami agar hanya menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, melaksanakan shalat, zakat, puasa, –lalu Ja’far menyebutkan sejumlah perkara dalam Islam. Lalu kami membenarkannya, beriman kepadanya dan mengikuti agama Allah yang dibawanya. Lalu kami menyembah hanya kepada Allah, tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun, mengharamkan apa yang diharamkan atas kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan bagi kami. Akibatnya, kaum kami memusuhi kami lalu menyiksa kami dan menimpakan cobaan kepada kami untuk mengembalikan kami kepada penyembahan berhala setelah kami beribadah kepada Allah dan meminta kami menghalalkan hal-hal buruk yang dahulu pernah kami lakukan.”
Seksualitas dalam Tinjauan Liberal Klasik
Prinsip menjaga kesucian diri, berhijab, menutup aurat, menikah dengan wanita merdeka dan budak wanita (milkul yamin), menghindari perzinaan dan akhlak mulia inilah, yang menjadi target kaum munafik dan orang-orang yang gemar berbuat kerusakan di muka bumi, untuk dihancurkan.
Abdullah bin Ubay bin Salul adalah orang yang memulai penyebaran berita dusta terhadap ‘Aisyah Ummul Mukminin ra (QS: 24: 11-20). Itulah catatan sejarah tertua yang merekam kebejatan moral kaum munafik, setelah sebelumnya mereka mengingkari wahyu dan kerasulan Muhammad saw (QS: 2:142, 9:45, 74, 127), menolak berhukum kepada syariat Islam (QS: 4:60-65, 24:47-50), memberikan loyalitas kepada kaum kafir (QS: 4:138-140), dan upaya mereka untuk merobek-robek persatuan kaum muslimin di Madinah (QS: 9:107-109).
Dia dan para pengikutnya dari kaum munafik menggunakan kesempatan untuk merusak masyarakat beriman dengan menyebarkan kabar dusta, karena merekalah yang menyebarkan perbuatan keji itu di tengah komunitas orang beriman. Oleh karena itulah, Allah berfirman tentang kaum munafik,
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (19) النور
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan diakhirat. Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS: 24:19)
Lebih dari itu, pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul telah mengkoordinasi penyebaran perbuatan keji dan pelacuran para hamba sahaya perempuan. Demikian halnya yang dilakukan oleh para penyeru paham kebebasan mutlak, yaitu perbuatan keji yang menyebarkan westernisasi di dunia Islam.
Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, “Abdullah bin Ubay bin Salul sering berkata kepada hama sahaya perempuannya, ‘Pergilah melacur untuk kami’, lalu Allah menurunkan firman-Nya,
وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (33) النور
Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi, barangsiapa memaksa mereka maka sungguh, Allah Maha Pengampun Maha Penyayang kepada mereka setelah mereka dipaksa (QS: 24:33)
Diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dari Jabir ra bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul mempunyai dua hamba sahaya perempuan, yaitu Musaikah dan Umaimah. Lalu dia memaksanya untuk melacur, kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗوَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْ ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ (٣٣)
“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.” (QS: 24:33)
Azzuhri mengomentari ayat ini berkata, “Memaksa mereka atas hal yang dipaksakan terhadap mereka”. Memperdagangkan para budak seks seperti ini biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah, diantaranya adalah gembong munafik, Abdullah bin Ubay. Perbuatan busuk ini sungguh melecehkan manusia, menurunkan mereka ke derajat hewan, menyebarkan zina, memfasilitasi perbuatan keji, serta menghancurkan norma dan akhlak mulia. Itulah perbuatan kaum munafik di sepanjang masa yang selalu ingin menghancurkan masayarakat Islam.
Sungguh jauh perbedaan antara perbuatan kaum jahiliyah yang dihidupkan dan terus menerus dihembuskan oleh kaum munafik, dengan prinsip-prinsip Islam yang agung sebagaimana dikatakan oleh Ja’far bin Abi Thalib. Allah berfirman,
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا (27) النساء
“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti syahwatnya menghendaki agar kamu berpaling sejauh-jauhnya dari kebenaran.” (QS: 4:27)
Diabolisme Intelektual dari Rahim UIN
Di penghujung tahun 1440 Hijriah, saat kaum muslimin bersuka cita menyambut tahun baru 1441 Hijriah, muncul pemikiran sesat yang menyatakan bahwa hubungan seks non-marital dengan pendekatan konsep milkul yamin dibolehkan secara syariah. Pemikiran yang semula digagas oleh Muhammad Syahrur, dari Suriah itu, telah mengundang polemik dan penolakan karena oleh Abdul Aziz dijadikan disertasi, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Penelitian ini berkesimpulan bahwa konsep milkul yamin Muhammad Syahrur merupakan sebuah teori baru yang dapat dijadikan sebagai justifikiasi terhadap keabsahan hubungan seksual nonmarital (zina). Dengan teori ini, maka hubungan seksual nonmarital adalah sah menurut syariah sebagaimana sahnya hubungan seksual marital. Dengan demikian, konsep ini menawarkan akses hubungan seksual yang lebih luas dibanding konsep milkul yamin tradisionalis.”
Itulah kesimpulan disertasi yang berjudul, “Konsep Milkul yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabasahan Hubungan Seksual non Marital”. Ditulis oleh Abdul Aziz, mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sayangnya pihak UIN Jogja, kemudian meloloskan desertasi itu dan memberikan gelar doktor kepada Abdul Azis. Seharusnya para pembimbing dan penguji dapat mengarahkan desertasi Abdul Azis sebagai antitesa, bukan sebaliknya malah melegitimasi dan menjustifikasi (tabriri) pemikiran Muhammad Syukur, yang sangat jelas kesesatannya.
Al-Qur’an menyebut frasa milkul yamin dalam pengertian kepemilikan tangan kanan, hamba sahaya atau budak, sebanyak 15 kali. Dalam konteks ayat melekat perintah berlaku adil dalam perkawinan (QS. 4:3, 24, 25, 36, dan QS. 24:33, QS. 33:50, 52), pembagian rizki yang sebanding (QS. 16:71, QS 30:28), dan menjaga aurat dari pandangan mereka, bahkan melarang budak memasuki kamar pada tiga waktu yang ditetapkan (QS. 24:31, 58, QS. 33:55).
Sedangkan ayat yang selalu dikutip, QS 23:6, baik oleh Syahrur maupun Azis, hanya dipahami sebagai budak yang terikat haknya secara fisik, termasuk dalam hal hubungan seksual. Dan lebih sempit lagi definisi itu hanya berlaku pada budak perempuan.
Dalam al-Qur’an memang terdapat ayat yang membolehkan seorang laki-laki menggauli budak perempuannya. Tanpa akad nikah. Seperti pada surat al-Ahzab: 50, an-Nur: 31 dan al-Mukminun: 5-6,
“Dan orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.” (QS: 23:5-6)
Hari ini tidak ada lagi perbudakan. Karena itu kemudian Syahrur menganalogikan kebolehan menggauli budak ini dengan jenis hubungan seksual yang tidak normal lainnya. Seperti nikah mut’ah, nikah muhalil, nikah misyar (kawin kontrak) bahkan samen leven (kumpul kebo). Karena hari ini tidak ada lagi budak, maka seorang laki-laki boleh menggauli perempuan bukan budak tanpa menikah. Cukup dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dengan demikian kumpul kebopun sah secara syariah.
Itulah jurus akrobatik Muhammad Syahrur yang diamini Abdul Aziz. Tanpa kritik yang berarti. Bahkan si penulis disertasi menyayangkan Syahrur yang hanya membuka pintu seks bebas dengan kedok milkul yamin hanya untuk laki-laki. Ia menyatakan, “Namun, ditinjau dari perspektif emansipatoris, ekstensitas akses seksual dalam konsep ini masih tampak timpang, karena hanya dapat dinikmati oleh laki-laki sementara bagi perempan cenderung stagnan”. Inna lillahi wal ‘iyadzu billah.
Menjadikan milkul yamin sebagai pembenaran seks luar nikah jelas sesat dan menyesatkan. Memperluas makna milkul yamin kepada selain budak rampasan perang adalah pembodohan sekaligus kejahilan yang berlipat ganda (murakkab). Tesis utama Syahrur, al-Qur’an turun sebagai pedoman untuk semua manusia dan sepanjang masa, karena itu harus bisa disesuaikan dengan cara hidup apapun dan dimanapun. Maka al-Qur’an harus sesuai, disesuaikan dan dipaksa sesuai.
Dalam kasus ini, karena seks di luar nikah sudah lumrah di banyak tempat, maka Al-Qur’an harus menyesuaikan diri. Inilah yang mereka sebut, Islam itu rahmatan lil-‘alamin, sehingga kerusakan moral pun hendak dibenarkan dengan dalih syariat Islam cocok untuk segala kondisi dan tempat. Bedanya, jika Islam menghendaki aturannya diterapkan tanpa merubah substansi dan bentuk hukuman, maka kaum liberalis munafikin menginginkan syariat Islam tunduk kepada dinamika sejarah dan budaya manusia.
Yang pertama menyatakan bahwa syariat Islam ini otentik, sempurna dan sudah final, maka yang diperlukan adalah langkah-langkah devolutif. Sementara yang kedua menyatakan bahwa syariat Islam ini masih jauh dari final dan sempurna, karena harus terus menyesuaikan diri dengan dinamika sejarah dan sosial budaya manusia, sehingga bersifat evolutif. Itulah jenis Islam baru yang dipropagandakan kaum liberal model Muhammad Syahrur.
Hermeneutika al-Quran Syahrur terlihat dominan menggunakan teori hermeneutika Paul Ricoeur (w. 2005), yakni dekontekstualisasi ketika materi teks berlepas dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya, serta membuka teks dibaca secara luas dengan pembaca beragam atau rekontekstualisasi. Ini artinya Syahrur anti otoritas keilmuan, sehingga sesuatu yg qath’i (pasti) bisa jadi zhanni (asumtif) dan begitu sebaliknya. (baca artikel “Otoritas Keagamaan”, dalam buku Islam dan Diabolisme Intelektual karya Dr. Syamsudin Arif, hlm. 34-40)
Dari hasil buah pikirannya Syahrur jelas bukan ulama otoritatif, dia hanya seorang pembaca yang keluar dari framework dan worldview Islam, serta terpengaruh atau bahkan ‘mengimani’ framework dan worldview Barat. Contohnya: a) Berpandangan bahwa meski al-Qur’an adalah wahyu & mukzijat, namun sejatinya manusia itu sendiri yang membuat mukjizat melalui kedinamisan penafsiran; b) al-Qur’an itu makhluk, bukan kalam Allah; c) lafadz al-Qur’an tidak memiliki sinonim (muradif); d) as-Sunnah katanya bukan wahyu; e) manusia zaman modern lebih matang dalam membuat hukum ketimbang para Nabi; f) Islam itu katanya mendahului Iman, sehingga bisa saja ada muslim kristen, muslim yahudi dll, jelas pandangan pluralisme Barat dia gunakan; g) penggalian hukum Islam mesti disesuaikan dengan realitas masa kini, artinya hukum Islam mesti tunduk pada realitas, dan bukan sebaliknya realitas tunduk pada hukum Islam.
Tidak mengejutkan, ketika hubungan seksual non-marital (kumpul kebo) dilegalkan Syahrur, sebab ini bukan berdasarkan dalil, namun karena pasrah pada kenyataan seksualitas yang banal di Barat, karena dia terpapar HAM Barat yang permisif sekaligus primitif. Sungguh ironis, padahal dalam hukum Islam dasar keharaman zina sudah jelas.
Adapun pemberian batasan atau limit bagi kategori kegiatan seks itu zina atau bukan, sebagaimana yang dinyatakan Azis, “Ada berbagai batasan atau larangan dalam hubungan seks nonmarital yaitu dengan yang memiliki hubungan darah, pesta seks, mempertontonkan kegiatan seks di depan umum, dan homoseksual,” maka itu tidak merubah sama sekali posisi dasar hukum zina (hubungan seks diluar nikah) yang diharamkan dalam Islam dengan hukuman badan yang keras, yaitu 100 kali cambuk bagi lajang (QS: 24:2) atau rajam sampai mati bagi yang sudah menikah (HR. Muttafaq ‘alaih). Karena jika batasan atau larangan versi Azis itupun dilanggar, maka hukumannya semakin berat dari hukum asal perzinahan.
Peran Ulama
Inilah bahayanya jika umat Islam dan para ulama kendor dalam menjalankan fungsi amar makruf nahi munkar dalam bidang akademik. Dengan dalih kebebasan ilmiah, seseorang bisa dengan mudah mengotak-atik dan membongkar syariat Islam semaunya, lalu mendakwa dirinya sebagai pembaharu. Na’udzu billah.
Sudah saatnya para ulama lintas ormas Islam dan Majelis Ulama Indonesia turun tangan menindaklanjuti fatwa haram liberalisme, sekularisme dan pluralisme agama yang telah disahkan pada Munas MUI tahun 2005 silam. Sudah 14 tahun fatwa itu keluar, entah kini bagaimana nasibnya? Apakah umat Islam dan para ulama masih peduli terhadap keberlangsungan dan tindak lanjut fatwa itu dalam kondisi kita yang seperti ini? Semoga harapan itu masih ada. Wallahu a’lam bil-shawab.*
Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI & Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Sumber : www.hidayatullah.com
Post a Comment