Kesabaran Seorang Ulama
Oleh
: Nur Fitriyana
Al Mubaarok bin Al Mubaarok Adh Dhoriir
seorang ulama ahli nahwu yang digelari Al Wajiih. Beliau dikenal seorang yang
elok akhlak dan perilakunya, lapang dada, penyabar dan tidak pemarah. Sehingga
ada sebagian orang-orang jahil yang berniat mengujinya dengan memancing
kemarahannya.
Maka datanglah orang ini menemui Al Wajiih,
kemudian bertanya kepadanya tentang satu masalah dalam ilmu nahwu. Syaikh Al
Wajiih menjawab dengan sebaik-baik jawaban dan menunjukan kepadanya jalan yang
benar.
Lantas orang itu berkata kepadanya, “Engkau
salah’.
Syaikh kembali mengulangi jawabannya dengan
bahasa yang lebih halus dan mudah dicerna dari jawaban pertama, serta ia
jelaskan hakekatnya.
Orang itu kembali berkata, “Engkau salah hai
syaikh, aneh orang-orang yang menganggapmu menguasai ilmu nahwu dan engkau
adalah rujukan dalam berbagai ilmu, padahal hanya sebatas ini saja ilmumu!”.
Syaikh berkata dengan lembut kepada orang itu,
“Ananda, mungkin engkau belum paham jawabannya, jika engkau mau aku ulangi lagi
jawabannya dengan yang lebih jelas lagi dari pada sebelumnya”.
Orang itu menjawab, “Engkau bohong! Aku paham
apa yang engkau katakan akan tetapi karena kebodohanmu engkau mengira aku tidak
paham”.
Maka syaikh Al Wajiih berkata seraya
tertawa, “Aku mengerti maksudmu, dan aku sudah tahu tujuanmu. Menurutku engkau
telah kalah. Engkau bukanlah orang yang bisa membuatku marah selama-lamanya.
Ananda, konon ada seekor burung duduk di atas
punggung gajah, ketika dia hendak terbang ia berkata kepada gajah,
“Berpeganglah kepadaku, aku akan terbang!”. Gajah berkata kepadanya,
“Demi Allah hai burung, aku tidak merasakanmu ketika bertengger di punggungku,
bagamaimana aku berpegang kepadamu saat engkau terbang!”.
Demi Allah hai anakku! Engkau tidak pandai
bertanya tidak pula paham jawaban, bagaimana aku akan marah kepadamu?!” (Mu’jamul Udaba’ : 5/44).
Masya Allah, kisah ini mengingatkan kita bahwa
menjadi orangtua, guru, ataupun seorang da’i memang harus banyak belajar
bersabar, lapang dada dan berakhlak mulia. Apalagi menghadapi
pertanyaan-pertanyaan remeh yang kadang dilontarkan bukan untuk serius
bertanya. Namun hanya menguji kesabaran kita. Semoga Allah Ta’ala memudahkan hal itu untuk
kita, aamiin.
Nur Fitriyana, Pemerhati
dunia anak
Post a Comment