Ketika Anak Dekat dengan Al Qur’an
Oleh : Galih
Setiawan, S.Kom.I.
Anak adalah dambaan dan
kebanggaan setiap Ayah-Bunda. anak bisa sebagai pelipur lara, pelengkap
keceriaan rumah tangga, penerus cita-cita, investasi, guru, partner, bahkan
pelindung orang tua terutama ketika orang tua sudah berusia lanjut. Tidak ada
orangtua yang mengharapkan anaknya akan menyeretnya ke neraka. Mereka tentunya
mendambakan dan mengharapkan anak-anaknya kelak bisa membahagiakannya, menjadi
penyejuk hati dan mata.
Mengajarkan
Al-Qur’an kepada anak adalah hal yang paling pokok dalam Islam. Dengan hal
tersebut, anak akan senantiasa dalam fitrahnya dan di dalam hatinya bersemayam
cahaya-cahaya hikmah sebelum hawa nafsu dan maksiat mengeruhkan hati dan
menyesatkannya dari jalan yang benar.
Para
sahabat nabi benar-benar mengetahui pentingnya menghafal Al-Qur’an dan
pengaruhnya yang nyata dalam diri anak. Mereka berusaha semaksimal mungkin
untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anaknya sebagai pelaksanaan atas saran
yang diberikan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam
hadits yang diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash,
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an
dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).
Sebelum
kita memberi tugas kepada anak-anak kita untuk menghafal Al-Qur’an, maka
terlebih dahulu kita harus menanamkan rasa cinta terhadap Al-Qur’an. Sebab,
menghafal Al-Qur’an tanpa disertai rasa cinta tidak akan memberi faedah dan
manfaat. Bahkan, mungkin jika kita memaksa anak untuk menghafal Al-Qur’an tanpa
menanamkan rasa cinta terlebih dahulu, justru akan memberi dampak negatif bagi
anak. Sedangkan mencintai Al-Qur’an disertai menghafal akan dapat menumbuhkan
perilaku, akhlak, dan sifat mulia.
Menanamkan
rasa cinta anak terhadap Al-Qur’an pertama kali harus dilakukan di dalam
keluarga, yaitu dengan metode keteladanan.
Karena itu, jika kita menginginkan anak mencintai Al-Qur’an, maka jadikanlah
keluarga kita sebagai suri teladan yang baik dengan cara berinteraksi secara
baik dengan Al-Qur’an. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara memuliakan
kesucian Al-Qur’an, misalnya memilih tempat paling mulia dan paling tinggi
untuk meletakkan mushaf Al-Qur’an, tidak menaruh barang apapun di atasnya dan
tidak meletakkannya di tempat yang tidak layak, bahkan membawanya dengan penuh
kehormatan dan rasa cinta, sehingga hal tersebut akan merasuk ke dalam alam
bawah sadarnya bahwa mushaf Al-Qur’an adalah sesuatu yang agung, suci, mulia,
dan harus dihormati, dicintai, dan disucikan.
Sering
memperdengarkan Al-Qur’an di rumah dengan suara merdu dan syahdu, tidak
memperdengarkan dengan suara keras agar tidak mengganggu pendengarannya.
Memperlihatkan pada anak kecintaan kita pada Al-Qur’an, misalnya dengan cara
rutin membacanya.
Sebagai penutup, perkenankan saya menyajikan
pesan yang dituturkan Syaikh Ibrahim Daud, salah seorang syaikh dari Palestina.
Ketika beliau hadir dalam safari dakwah yang diselenggarakan Sahabat Al Aqsho
di Batam, beliau ditanya tentang mengapa anak-anak di Palestina begitu mudah
menghafal Al Qur’an. Padahal di sana, mereka hidup dalam cekaman teror tentara
zionis Israel.
Syaikh
Ibrahim pun menerangkan mengapa anak-anak di Palestina begitu mudah menghafal
Al Qur’an. Pertama, mereka sangat mencintai Al-Qur’an. Bahkan melebihi cintanya
terhadap air, sebagai sumber kehidupan. Kedua, mereka meyakini bahwa Yahudi
tidak mungkin dikalahkan kecuali dengan kembali kepada Al-Qur’an, yang
dengannya umat ini akan menang. Ketiga, mereka diajari oleh orangtua yang juga
penghafal al-Qur’an. Dan terakhir, mereka sangat yakin akan syahid, sehingga
hidup mereka habiskan untuk al-Qur’an.
Sepatutnya
kita merasa malu. Anak-anak kita yang hidup tenteram tanpa teror, semestinya
mampu membuat anak-anak kita lebih dekat dengan Al Qur’an, bukan malah dekat
dengan gadget. Jika anak-anak di Palestina saja mampu sedemikian dekat dengan
Al Qur’an, di tengah kondisi yang penuh dengan keterbatasan, maka semestinya
anak-anak kita bisa jauh lebih dekat lagi. Semoga kita dan anak-anak serta
keturunan kita mampu menjadi generasi pecinta Al Qur’an. Aamiin.
Galih Setiawan, S.Kom.I., Redaktur Majalah Fahma
Post a Comment