Mengajari Mencuri Tanpa Sadar



Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Salah satu nikmat masa kecil adalah didikan ibu serta kakek dan nenek saya yang senantiasa meyakinkan agar tidak ikut-ikutan, mengajari untuk memperoleh segala sesuatu dengan cara yang halal dan baik, serta tidak mencuri. Di masa lalu, banyak orangtua yang secara tidak sadar mengajari anaknya mencuri, meskipun dalam ujaran sehari-hari melarang sekaligus membenci perbuatan mencuri beserta pelakunya.

Ketika musim panen tebu tiba, jalanan sepi dekat rumah saya bisa lebih ramai dari biasanya oleh truk pengangkut tebu yang lalu lalang. Adakalanya truk harus melambat jalannya. Saat itulah kerap muncul orang dewasa maupun anak-anak yang berlarian berusaha menarik tebu dari truk untuk mereka nikmati. Kadang ada orangtua yang secara spontan berkata, “Iku lho, ngapek’o (Tuh, sana ambil).” Tanpa sadar ia mengajari anak mencuri; mengambil harta orang lain tanpa hak, padahal sehari-hari ia mengajarkan tentang buruknya mencuri.

Di kampung, ada beberapa lahan tebu yang cukup luas. Tidak begitu banyak, tetapi untuk ukuran anak-anak sudah sangat luas. Salah satunya milik Pak Carik (sekretaris desa). Sama seperti truk yang melambat, hamparan kebun tebu itu kadang seolah makanan yang dibiarkan terbuang. Padahal jelas ada orang-orang yang dipekerjakan untuk menunggui mengamankan agar tidak dicuri orang.

Saat panen kadang serasa seperti pengumuman untuk bergegas mengambil. Beberapa kawan kadang mengajak saya ikut mengambil –yang sebenarnya mencuri—tebu. Bukan main resikonya. Takut ketahuan bisa membuat orang lari lintang pukang dan berakibat jatuh berdarah-darah dengan luka yang tidak sembuh oleh sebatang tebu.

Alhamdulillah, saya tidak harus mengalami itu karena didikan ibu saya menjadikan saya memilih mencari pemilik kebun tebu untuk meminta secara langsung daripada mengambil tanpa izin. Sebagian teman takut ketika saya ajak meminta baik-baik. Tetapi mandor tebu rupanya dapat membedakan anak yang mau mencuri dengan anak yang datang baik-baik. Itu pun saya bukan meminta kepada mandor, tetapi minta ditunjukkan dimana saya dapat menemui pemiliknya.

Ini sama seperti mangga dan bebuahan lainnya. Pepohonan yang buahnya menjuntai keluar dari pekarangan sehingga berada di jalanan umum, maka yang keluar itu merupakan hak pengguna jalan. Tetapi pekarangan yang sering dilalui orang sehingga seolah jalan umum, tetaplah bukan jalan umum sehingga buah yang menjuntai bukan milik umum. Maka saya diajari untuk senantiasa meminta izin baik-baik, bahkan untuk bebuahan yang benar-benar berada di jalan umum. Dorongan untuk “meminta halalnya” kerap dirangkai kisah-kisah orang shalih terdahulu.

Tampaknya sederhana. Tetapi pengalaman seperti ini sangat berarti, begitu membekas di kemudian hari. Di satu sisi ada pelajaran berharga betapa orangtua tidak cukup hanya mengajarkan untuk benci mencuri. Pada saat yang sama ia harus menakar ucapan maupun tindakan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan mengambil milik orang lain tanpa hak.

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku Segenggam Iman Anak Kita
Powered by Blogger.
close