Orangtua yang Egois


Oleh : Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.

Suatu sore, saya dan istri bersama anak-anak dan cucu-cucu makan bersama di suatu tempat yang dilengkapi dengan permainan untuk anak-anak kecil, diantaranya jenis kuda-kudaan portabel dari kayu atau plastik yang bisa digoyang karena bawahnya melengkung.

Sudah hal yang lumrah, jumlah mainan yang disediakan oleh pemilik restoran lebih sedikit dari pada jumlah anak yang bermain. Demikian pula saat itu, ada beberapa keluarga yang makan sambil membawa anak-anaknya. Karena kami datangnya lebih duluan, sehingga cucu-cucu kami mempunyai kesempatan menggunakan permainan yang ada di tempat khusus mainan. Setelah cucu-cucu menggunakan permainan itu beberapa saat lamanya, lalu mereka meninggalkan tempat bermain untuk bergabung dengan kami di meja makan, sekalian memberi kesempatan pada anak-anak lain untuk menggunakannya.

Ada hal yang menarik ketika ada salah satu mainan yang tidak digunakan, tiba-tiba diambil oleh seorang ibu, dan dibawa, kemudian diletakkan di dekat meja tempat mereka makan, sehingga anak lain yang ada di situ tidak bisa lagi menggunakannya. Saya dan istri saling berpandangan “...mengapa si ibu itu egois sekali”. Ketika saya melirik anak dan menantu kami, ternyata mereka juga saling berpandangan, yang kira-kira istilah egois muncul dalam benak mereka juga. Melihat hal itu, saya dan istri tidak bisa berdiam diri untuk tidak  berdiskusi. Maksud si Ibu itu mungkin memang tidak salah, agar anaknya bisa bermain sambil makan sehingga bisa lebih lahap. Apakah orangtuanya tidak berfikir kalau-kalau ada anak lain yang akan menggunakannya.

Apa yang kami duga betul terjadi, seorang anak kecil yang lain datang menghampiri permainan tersebut, nampaknya dia ingin menggunakannya. Karena mainan tersebut masih dipakai, dia hanya berdiri di samping dekat mainan sambil memandanginya, mau ikut memakai tidak berani. Anehnya si ibu yang mengambil mainan tadi pura-pura tidak tahu kalau ada anak yang menginginkan mainan itu, demikian juga bapaknya, tetap melanjutkan makan tanpa menghiraukan anak kecil yang berdiri di samping mainan.

Melihat pemandangan itu kami sangat heran, kok ada orangtua yang bersikap jauh dari kebaikan dan anehnya tindakan ini dilakukan di hadapan anak-anaknya. Secara tidak sadar anak-anak itu pasti akan meniru sikap orangtuanya, mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan orangtuanya itu memang sikap yang benar. Tidak perlu memperhatikan teman bermain, tidak perlu berbagi kesempatan, meskipun bukan milik kita tetapi kalau kita senang ya harus dipertahankan. Kalau si ibu memang ingin mendidik putranya dengan benar, mestinya dia bisa mengatakan kepada anaknya “Nak, bermainnya sudah ya.. gantian, itu ada kakak yang juga sudah menunggu untuk bermain. Kan kasihan dia sudah menunggu lama”.
 
Atau mungkin sikap orangtuanya seperti itu memang tidak ada pilihan lagi, karena kalau tidak dituruti si anak akan teriak-teriak dan ini akan memalukan karena ada di tempat umum. Padahal sesungguhnya apa yang mereka lakukan terhadap anak itu justru akan semakin “menjerumuskan”. Seorang anak yang selalu dilindungi dan apa yang dia minta selalu dituruti, maka dia akan berkembang menjadi seseorang yang selalu menuntut hak, orang yang akan selalu mengutamakan dirinya sendiri, egois. Ketika kelak dia mulai bekerja di kantor misalnya, maka dia akan selalu menginginkan semua orang harus mendengarkan dirinya. Kalau menjadi pimpinan, maka dia akan menjadi pimpinan yang tidak akan pernah tahu penderitaan karyawannya dan akan selalu menyalahkan orang lain.
 
Kita sebagai orangtua yang mendapatkan amanat mendidik anak-anak, harus ekstra hati-hati. Lebih baik anak yang menangis ketika masih kecil dari pada orangtua yang menangis setelah mereka besar. Ketika kita diberi kesempatan Allah Ta’ala mempunyai rumah bagus, nyaman, bisa makan enak dan fasilitas lengkap, namun ketika kita menyiram tanaman, memotong rumput, libatkan anak-anak kita, biarkan mereka mengalaminya. Setelah makan, biarkan mereka mencuci piring mereka bersama adik atau kakaknya. Meskipun kita sudah mempunyai pembantu, namun kita kan ingin mencintai anak-anak dengan cara yang benar. Wallahu A’lam Bishawab.
 

Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A., Pemimpin Umum Majalah Fahma
Powered by Blogger.
close