Tentang Ikhlas dan Perusaknya
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Ada nasehat yang sekilas tampak baik,
tetapi menyelisihi perkataan salafush shalih. Beredar di berbagai group WA yang
tak jelas asal-usul sumbernya, “Orang cerdas beramal sampai mereka ikhlas,
bukan ikhlas baru beramal.”
Tampak indah, tetapi rusak hingga ke dalam dada. Orang yang benar-benar ikhlas justru senantiasa mengkhawatiri keikhlasannya, berjuang untuk terus berbenah memperbaiki diri dan tak henti menata niat. Bukan berhenti beramal. Berkata “ikhlas baru beramal” menandakan yang bertutur tidak memahami tentang ikhlas dan perusaknya. Tetapi yang paling mengkhawatirkan ialah, rangkaian perkataan semacam itu seolah manusia dengan sendirinya akan mencapai derajat ikhlas asalkan sering beramal. Ia lupa bahwa di antara tiga golongan yang pertama kali masuk neraka justru ahli shadaqah, bukan shadaqahnya kadangkala saja, tetapi tidak ikhlas dalam bershadaqah disebabkan riya’.
Mari ingat sejenak hadis berikut ini:
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Sesungguhnya manusia pertama yang diadili di hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?”
Tampak indah, tetapi rusak hingga ke dalam dada. Orang yang benar-benar ikhlas justru senantiasa mengkhawatiri keikhlasannya, berjuang untuk terus berbenah memperbaiki diri dan tak henti menata niat. Bukan berhenti beramal. Berkata “ikhlas baru beramal” menandakan yang bertutur tidak memahami tentang ikhlas dan perusaknya. Tetapi yang paling mengkhawatirkan ialah, rangkaian perkataan semacam itu seolah manusia dengan sendirinya akan mencapai derajat ikhlas asalkan sering beramal. Ia lupa bahwa di antara tiga golongan yang pertama kali masuk neraka justru ahli shadaqah, bukan shadaqahnya kadangkala saja, tetapi tidak ikhlas dalam bershadaqah disebabkan riya’.
Mari ingat sejenak hadis berikut ini:
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Sesungguhnya manusia pertama yang diadili di hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?”
Ia menjawab, “Aku berperang semata-mata
karena Engkau sehingga aku mati syahid.”
Allah berfirman, “Engkau dusta! Engkau
berperang supaya dikatakan orang yang gagah berani. Memang demikianlah yang
telah dikatakan (tentang dirimu).”
Kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam
neraka. .
Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur-an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, “Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?”
Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur-an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, “Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?”
Ia menjawab, “Aku menuntut ilmu dan
mengajarkannya serta aku membaca Al-Qur-an hanyalah karena engkau.”
Allah berkata, “Engkau dusta! Engkau
menuntut ilmu agar dikatakan seorang 'alim (yang berilmu) dan engkau membaca
Al-Qur-an supaya dikatakan seorang qari' (penghafal Al-Qur’an, pembaca
Al-Qur-an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).”
Kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.
Berikutnya (yang diadili) adalah orang
yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan
dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya
(mengakuinya). Allah bertanya, “Apa yang engkau telah lakukan dengan
nikmat-nikmat itu?”
Dia menjawab, “Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.”
Allah berfirman, “Engkau dusta! Engkau
berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan
memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).”
Kemudian diperintahkan (malaikat) agar
menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. (HR. Muslim)
Ada yang
mengatakan, “Bukankah kita boleh bershadaqah secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi? Ini kan berarti riya’ itu boleh dalam urusan shadaqah?” Ia
lupa bahwa saat umrah kita mesti terang-terangan. Tidak bisa seorang laki-laki
mengganti kain ihram dengan jas agar tidak kelihatan kalau sedang umrah. Tetapi
di antara bunyi niat itu, ada yang menggunakan ungkapan “tidak ada riya’ di
dalamnya (لاَ رِيَاءَ فِيْهَا)”.
Jadi, beda sekali antara syiar dan riya'
Jadi, beda sekali antara syiar dan riya'
Mohammad Fauzil Adhim, Motivator dan Penulis Buku
Post a Comment