Antara Tegas dan Keras


Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Usai bincang parenting di SD MBS Prambanan, Yogyakarta. Judulnya “Anakku Tidak Nakal Kok!!!”, tetapi saya berusaha menyajikan pembahasan ringkas mengenai perilaku wajar yang tidak patut, perilaku mengganggu serta kerentanan yang bersumber dari rumah. Masih banyak orangtua yang sulit membedakan antara tegas dan keras serta lemah dan lembut. Akibatnya kadangkala orangtua inginnya bersikap lembut, tetapi dia keliru bersikap lemah. Sebagaimana sikap tegas kadang berubah menjadi ngawur dan bahkan beringas.

Islam menyuruhkan orangtua memukul anaknya apabila meninggalkan shalat di usia 10 tahun. Tetapi bukan berarti orangtua merdeka untuk memukul setiap kali anak melakukan kesalahan, sebab aturan ini terikat oleh beberapa hal. Pertama, hukuman hanya boleh untuk kesalahan paling mendasar, yakni tarkush shalah (meninggalkan shalat). Kedua, anak harus sudah memiliki pengetahuan memadai tentang hukum-hukum dasar yang berhubungan dengan ibadah sehari-hari sekaligus memahami apa yang dapat menyebabkan ia dapat dikenai hukuman. Jika anak belum memilikinya karena orangtua lalai, maka orangtua tidak dapat memukulnya meskipun anak meninggalkan shalat berkali-kali. Tetapi membiarkan anak melakukan kesalahan juga tindakan yang salah. Ketiga, orangtua harus memenuhi hak anak untuk memperoleh nasehat, pengingat maupun peringatan sebelum orangtua bertindak lebih keras. Keempat, orangtua harus bertindak secara terukur dan menunjukkan iktikad baik sekaligus rifq (kelembutan) sebagai bentuk kecintaan terhadap anak sekaligus memuliakan tuntunan dalam mendidik anak.

Disebut tegas itu ialah apabila ada aturan yang jelas dan anak memahami. Jika tidak ada aturannya, bukan tegas namanya. Itu beringas.

Kesalahan yang juga sering dilakukan orangtua adalah menghukum yang benar dan memberi hadiah kepada yang bersalah. Misalnya sudah ada kesepakatan mengenai tujuan wisata keluarga. Pagi hari semua anak siap, kecuali satu yang tidak mau bersiap karena menginginkan wisata di tempat yang berbeda. Karena menginginkan harmoni tetapi mengabaikan rasa keadilan, maka anak-anak yang sudah siap diminta mengalah dengan mengalihkan tujuan wisata demi agar anak yang membangkang mau segera bergegas bersiap melakukan perjalanan wisata keluarga. Tampaknya sepele, tetapi orangtua baru saja merusak integritas dan mengajari anak untuk tidak menghargai aturan maupun jerih payah serta kebaikan orang lain.

Mohammad Fauzil Adhim, Motivator dan Penulis Buku
Powered by Blogger.
close