Berpisah Tetapi Tidak Pecah

Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Perceraian merupakan bagian dari aturan Islam. Dibolehkannya perceraian pada kondisi tertentu menunjukkan bahwa ada kebaikan, setidaknya demi menghindarkan keburukan sangat besar. Sebab tidak ada satu pun aturan syari’at kecuali mendatangkan maslahat dan mencegah kerusakan.

Perceraian merupakan sesuatu yang dihalalkan, tetapi tidak disukai. Ini menandakan bahwa hanya apabila sangat terpaksa sajalah seharusnya perceraian itu terjadi. Ini merupakan jalan terakhir, tetap dalam rangka mencari kebaikan. Ini sekaligus menandakan bahwa apabila tidak berjalan sesuai dengan tuntunan-Nya, maka perceraian sangat rentan menimbulkan masalah-masalah serius. Perceraian dapat menjadi pembuka pintu kerusakan. Bahkan kerusakan yang sangat besar.

Tuntunan tentang masa ‘iddah dan kewajiban suami selama masa ‘iddah menunjukkan bahwa perceraian pada dasarnya tetap merupakan bagian dari upaya untuk meraih kebaikan (ikhtiar). Mengambil jarak dari masalah memudahkan orang menemukan titik jernih. Jika perceraian telah bersifat tetap, yakni sesudah habis masa ‘iddah tidak terjadi ruju’, maka muncul beberapa kewajiban apabila mereka mempunyai anak. Kembali (ruju’) mengokohkan ikatan perkawinan ataupun berpisah, hendaklah dilakukan dengan cara yang baik (بِمَعْرُوفٍ)
Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ

“Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya, maka ruju’lah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. Ath-Thalaq, 65: 2).

Ada yang penting untuk kita perhatikan di sini. Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dua kali kata ma’ruf di ayat ini menunjukkan sangat pentingnya melakukan dengan cara yang baik, sebaik-baiknya, ruju’ maupun berpisah. Ruju’ tapi mengabaikan cara yang baik dapat menjadi pintu keburukan. Mereka serumah, tetapi sejatinya pecah berkeping-keping. Mereka tampaknya tak berpisah, tetapi saling bermusuhan di rumah mereka sendiri. Begitu pula berpisah tanpa memedulikan cara yang baik, proses yang baik, maka akan melahirkan permusuhan dan membuka pintu-pintu keburukan yang berkepanjangan.

Jadi, bahkan setelah berpisah pun, hubungan baik tetap perlu dijaga. Menjaga hubungan agar tetap baik ini antara lain diawali dengan cara memberikan mut’ah, yakni memberikan harta benda untuk menyenangkan hati mantan istri, atau tepatnya untuk menjaga hubungan baik dengan mantan istri dan keluarga, kecuali jika perceraian tersebut atas permintaan atau inisiatif istri.

Jangan salah paham. Saya ulangi lagi, mut’ah itu adalah pemberian harta untuk menyenangkan hati mantan istri. Ini menurut madzhab Syafi’i. Bedakan dengan istilah mut’ah yang dipakai oleh golongan di luar Ahlussunnah wal Jama’ah. Saya perlu perjelas ini karena banyak saudara kita Ahlussunnah yang asing dengan istilah ini; hanya mengenalnya sebagai istilah yang dipakai oleh selain Ahlussunnah.
Setelah berpisah, hendaklah keduanya fokus ke masa depan, saling berbenah, saling memperbaiki diri dan tidak mencari aib. Apalagi membukanya.

Catatan Syuruq, 22 Oktober 2019
Semoga dapat menjadi jawaban bagi mereka yang sedang gelisah.

Mohammad Fauzil Adhim, Motivator dan Penulis Buku
Foto : daruttauhid
Powered by Blogger.
close