Journalism is Dead, What’s Next?




Oleh : Tibaus Surur

Fragmen-fragmen Jurnalisme is Dead yang penulis dapati di Pesanten Msyarakat Merapi Merbabu dalam acara daurah junalistik cukup memberi nutrisi khususnya bagi penulis. judul nya yang “Menyentil” pembaca membuat semua orang tertarik untuk mengikuti acara daurah ini. Terlebih lagi, yang menjadi Narasumber daurah ini tidak diragukan lagi kapasitas dan kapabiltasnya, berikut narasumbernya adalah  Ustadz Dikrullah dan Ustadzah Santi Sukanto—yang statusnya merupakan pasangan suami istri. Daurah tersebut dilaksanakan dalam dua hari bertepatan pada tanggal 19-20 Oktober 2019. 

Acapkali Seketika membaca tema yang terpampang, penulis berpikiran tidakah salah panitia memberi judul seperti itu? Penulis sangat yakin, tema yang tercantum itu menuai kritik di pelbagai kalangan, bahkan bisa terjadi yang menertawainya dan itu betul terjadi yang disampaikan oleh Ustadzah Santi Sukanto di tengah acara Daurah. Tapi, bagi penulis itu tema benar-benar indah nan menggelitik. Penulis mengira, betulkah junalisme benar-benar tiada? 

Jawaban atas pertanyaan itu dilontarkan oleh Ustadz Dzikrullah. Ia menyampaikan bahwa bukan secara fisik yang mati dalam dunia jurnalistik, melainkan ada adab yang tidak secara paripurna diperhatikan oleh seorang jurnalis. Seolah-olah jurnalis hari ini mati. Hebatnya lagi beliau, menyampaikan sosok jurnalis paling ideal, paling sempurna yang pernah ada di dunia ini, dan itu dimiliki oleh Islam, tiada lain ia adalah Imam al-Bukhari—sosok jurnalis yang mengagetkan dunia atas karya jurnalis yang ditulisnya al-Jami’ al-Shahih. Tidak ada jurnalis terbaik setelah Imam Bukhari. 

Kegiatan Jurnalis pada masa Islam dahulu sudah ada. Apa yang dilakukan oleh ulama-ulama hadits dalam menyampaikan sebuah riwayat yang ditulis dalam pelbagai literatur—menulis di pelapah kurma, kulit, batu—menunjukan kepedulian ulama atas satu berita yang penting untuk disampaikan kepada umat. Sebelum datangnya kata jurnalis yang muncul pada abad ke 16, Islam sudah melakukan kegiatan mengumpulkan dan penyampaian suatu berita (dalam Islam istilahnya Tahammul wa al-‘Ada). 

Apa yang menjadi prinsip etika jurnalis muslim saat itu menjadi syarat terpenting yang tidak boleh dilewatkan oleh seorang jurnalis. Syarat berita Shahih, jelas sumbernya, orang yang menyampaikan (rawi/reporter) tidak sembarang dan jujur menjadi perhatian utama. Beban menjadi seorang jurnalis muslim sangatlah berat, beban moral yang ditanggungnya merupakan tanggung jawab untuk menyampaikan berita benar apa yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. 

Jurnalis Muslim haruslah berani menyampaikan berita yang benar—dalam hal ini yang menjadi sumber utama al-Qur’an dan al-Hadits al-Shaihh—kepada umat. Melihat realitas yang ada berdasarkan dua sumber Islam. Selalu Memerhatikan prinsip-prinsip Islam dalam menyampaikan berita. Apa yang telah dilakukan ulama terdahulu sudah dirasa cukup sebagai contoh dalam menyampaikan berita yang shahih, Misalnya, Abu Hurairah, Zaid ibn Tsabit,  Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud dan lain sebagainya.

Saat ini Islam, membutuhkan sosok jurnalis yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip etika jurnalis muslim. Menjadikan junarlis sebagai wadah beramar ma’ruf dan nahyi munkar pasca revolusi media.  Wal-‘Llahu a’lam

Penulis : Tibaus Surur
Foto      : Atin 
Powered by Blogger.
close