Kesedihan Sang Alim
Oleh : Nur Fitriyana
Imam Malik rahimahullah meriwayatkan
sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa’, dari Yahya bin Sa’id dari
al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata, “Salah satu istriku meninggal dunia,
lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mendatangiku untuk bertakziah atas
(kematian) istriku, lalu beliau mengatakan,
‘Sesungguhnya, dahulu di zaman Bani Israil
ada seorang laki-laki yang faqih, ‘alim, abid,
dan mujtahid. Dia memiliki seorang istri yang sangat ia kagumi
dan cintai. Lalu meninggallah sang istri tersebut, sehingga membuat hatinya
sangat sedih. Dia merasa sangat berat hati menerima kenyataan tersebut,
sampai-sampai ia mengunci pintu, mengurung diri di dalam rumah, dan memutus
segala hubungan dengan manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat
bertemu dengannya.
Lalu ada seorang wanita cerdik yang
mendengar berita tersebut, maka dia pun datang ke rumah sang alim seraya
mengatakan kepada manusia, “Sungguh, saya sangat memerlukan fatwa darinya dan
saya tidak ingin mengutarakan permasalahan saya, melainkan harus bertemu langsung
dengannya.” Akan tetapi, semua manusia tidak ada yang menghiraukannya. Walau
demikian, ia tetap berdiri di depan pintu menunggu keluarnya Sang Alim. Dia
berujar, ‘Sungguh, saya sangat ingin mendengarkan fatwanya. Lalu, salah seorang
menyeru, ‘(Wahai Sang Alim) sungguh di sini ada seorang wanita yang sangat
menginginkan fatwamu.’ Dan wanita itu menambahkan, ‘Dan aku tidak ingin
mengutarakannya melainkan harus bertemu langsung dengannya tanpa ada
perantara.’ Akan tetapi, manusia pun tetap tidak menghiraukannya. Meski
demikian, dia tetap berdiri di depan pintu dan tidak mau beranjak.
Akhirnya, sang alim menjawab, ‘Izinkanlah
dia masuk.’ Lalu, wanita itu pun masuk dan mengatakan, “Sungguh, aku datang
kepadamu karena suatu pemasalahan.’ Sang alim menjawab, “Apakah pemasalahanmu?’
Wanita memaparkan, “Sungguh, aku telah meminjam perhiasan kepada salah satu
tetanggaku dan aku selalu memakainya sampai beberapa waktu lamanya, lalu suatu
ketika mereka mengutus seseorang kepadaku untuk mengambil kembali barang itu kepadanya?’
Maka, sang alim menjawab, ‘Iya, demi Allah, engkau harus memberikan kepada
mereka.’ Lalu sang wanita menyangkal, ‘Tetapi, aku telah memakainya sejak lama
sekali.’ Sang alim menjawab, ‘Tetapi mereka lebih berhak untuk mengambil
kembali barang yang telah dipinjamkan kepadamu sekalipun telah sejak lama.’
Lalu, wanita itu mengatakan, ‘Wahai sang
alim, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu. Mengapakah
engkau juga merasa berat hati untuk mengembalikan sesuatu yang telah dititipkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu, lalu Allah Subhanahu
wa Ta’ala ingin mengambil kembali titipan-Nya, sedang Dia lebih berhak
untuk mengambilnya darimu?’ Maka, dengan ucapan itu tersadarlah sang alim atas
peristiwa yang sedang menimpanya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menjadikan perkataan si wanita tersebut dapat bermanfaat dan menggugah hatinya.
Bersedih adalah suatu kewajaran terutama
karena ditinggal oleh orang-orenga yang sangat dicintai. Akan tetapi, janganlah
kesedihan tersebut melampaui batas dari yang dibolehkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعَ
وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يُرْضِي رَبَّنَا
“Mata boleh menangis, hati boleh
bersedih, tetapi kita tidak berkata-kata kecuali hanya (dengan perkataan) yang
diridhai oleh Rabb (Tuhan –ed.) kita.” (HR. al-Bukhari: 5/57).
Memang, setan sangatlah lihai dalam
mencari celah untuk menjerumuskan anak Adam. Dari sinilah pentingnya saling
menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَذَكِّرْ
فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”
(Qs. adz-Dzariyat: 55).
Nur Fitriyana, Pemerhati dunia anak
Post a Comment