Membangun Ruhiyah Guru
Oleh : Prihatiningsih, S.Si.
Pada edisi yang lalu telah dijabarkan mengenai metode pembelajaran, kini saatnya kita
membahas mengenai ruh/jiwa guru sebagai pendidik, yang memang harus dimiliki
oleh setiap guru yang menanamkan ilmu dan adab kepada siswanya. Perlu
diperhatikan bahwa guru bukan “tukang
ngajar”, begitu istilah Dr. Adian Husaini. Tugas guru bukan tugas tukang.
Tukang hanya menyelesaikan pekerjaan fisik. Ketika pekerjaan fisik telah
selesai, tukang tidak bertanggung jawab terhadap ruh pekerjaan setelahnya,
sebab yang tukang kerjakan memang berkaitan dengan benda mati yang tidak akan berubah,
sedangkan murid tidak demikian. Murid adalah manusia yang memiliki fisik dan
jiwa yang mampu berubah sesuai pola ajar dan pola
pikirnya. Guru tidak hanya bertanggung jawab berbagi ilmu kepada murid tetapi
juga bertanggung jawab memperbaiki akhlak dan jiwa
murid. Di sinilah peran guru sebagai penanam adab.
Sebagai agen penanam adab, guru perlu lebih
dulu berbenah daripada murid. Guru juga harus lebih giat belajar dibandingkan
muridnya. Selalu memperbanyak pengetahuan dengan berbagai cara, entah dengan
membaca, melihat, atau
mengikuti kajian. Sebuah mahfuzhat berbunyi, “Ath thariqah ahamu minal madah, wal ustaadzu
ahammu min ath-thariqah, wa ruuhul ustadz ahammu min al ustadz. (metode
pelajaran lebih penting dari pelajaran, guru lebih penting dari metode, dan ruh
guru lebih penting dari guru itu sendiri)”.
Ungkapan ini menunjukkan, perbaikan dunia
pendidikan secara keseluruhan harus dimulai dari perbaikan jiwa guru. Jiwa atau ruh gurulah yang perlu lebih
dahulu dibenahi sebelum gedung-gedung, buku-buku pelajaran, dan berbagai
strategi pendidikan dan pembelajaran. Gedung, buku, dan strategi pembelajaran
penting, tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah jiwa guru sebab guru
merupakan ujung tombak pendidikan sedang guru itu sendiri sangat bergantung kepada
jiwanya.Ruh seorang guru adalah keikhlasan, tidak
ikhlas berarti tidak ada ruhnya dalam suatu amalan. Karena, ikhlas merupakan
ruh dan syarat diterimanya amal seorang guru. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat
(menilai) bentuk tubuh serta kemolekan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai)
keikhlasan yang bersemayam dalam lubuk hatimu." (HR Bukhari dan
Muslim).
Jika seorang guru memiliki pondasi akhlak,
adab, dan ilmu yang baik, maka dapat dipastikan bahwa ia akan menanamkan ilmu
sesuai pola pikir dan pola sikap yang diadopsinya. Sedangkan jika guru tak
memiliki akhlak, adab, dan ilmu yang baik maka bagaimana dia mampu mengajarkan
jika dia tidak melakukan. 3 hal tersebut merupakan indikator keikhlasan seorang
guru. Jika ia dipuji, tidak sombong, direndahkan tidak tumbang. Karena ia
senantiasa melakukan transfer ilmu dengan mengutamakan ridha Allah, bukan
semata penilaian dari manusia.
Guru bukan hanya mengajarkan, tetapi juga
mencontohkan. Pendidikan yang baik akan berlangsung jika seluruh elemen
pendidikannya baik. Seperti pepatah jawa yang mengatakan “ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”
yang artinya didepan memberi contoh, ditengah memberi semangat, dibelakang
memberi daya kekuatan. Dari pepatah ini juga memiliki makna yang sangat dalam.
Disamping guru harus mampu menjadi contoh, ia juga harus mampu memberi
dorongan, motivasi, dan kekuatan kepada siswanya untuk melakukan segala sesuatu
dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seorang guru juga harus senantiasa mengupgrade diri dan ilmunya agar mampu
memberikan yang terbaik bagi anak didiknya sesuai dengan perkembangan ilmu dan
zaman yang berlaku pada saat itu.
Pola pikir seorang guru juga sangat mempengaruhi
perilakunya sehari-hari. Pola pikir cenderung akan terpancar sebagai perilaku
spontan yang disebut dengan akhlak.
Pancaran akhlak
inilah yang menjadikan parameter baik atau buruknya kualitas ruhiyah guru. Kualitas guru akan mempengaruhi kualitas anak didiknya, serta kualitas anak didik akan terpancar pada pola
sikap anak sehari-hari. Indikator keberhasilan akan nampak pada baik buruknya
perilaku anak didik baik saat ada guru maupun tak ada guru. Baik di kala berjamaah ataupun sendiri. Di lingkungan
sekolah maupun saat sudah di rumah.
Penulis : Prihatiningsih, S.Si., Guru SDIT
Hidayatullah Sleman
Foto : Atin
Post a Comment