Merawat Benih Cinta dalam Keluarga
Oleh : Khairul
Hibri
CINTA itu
laksana tanaman. Ia harus dirawat. Agar tumbuh subur dari hari ke hari.
Apalagi, ketika hama mencoba menyerang. Harus bersegera mencari obatnya. Pun
demikian pupuknya. Agar sehat lagi kuat.
Dalam biduk rumah tangga, tidak sedikit aneka macam hama,
mencoba menyerang.
Datangnya
dari berbagai macam arah. Tak terkecuali dari masing-masing pasangan.
Umpama;
mulai merasa tidak ada kecocokan. Menemukan reka-ragam sifat/perilaku yang
kurang dikenani dari pasangan. Dan seterusnya.
Bila ini tak dicoba ‘diobati’, sudah barang tentu akan layu dan
matilah cinta itu.
Muncullah
riak-riak. Yang bukan mustahil, pada endingnya berakhir dengan karamnya bahtera
rumah tangga.
Aduhai.
Ngeri sekali akibatnya. Dan itulah fenomena yang kita saksikan pada figur
negeri ini. Khususnya dunia keartisan.
Namun, bukan
mustahil, itu akan menimpa keluarga kita, bila tidak diantisipasi. Na’udzubillah.
Untuk
mengerai persoalan ini, maka kita harus tahu dulu penyebab utama tumbuhnya
‘hama’ cinta ini.
Hemat
penulis ada dua biangnya. Pertama; kuatnya menuntut pemberian hak
masing-masing.
Dan yang
kedua; adanya salah titik fokus dalam menilai pasangan. Berpusat kepada
kekurangan pasangan.
Karena
demikian persoalannya, maka sebagai langkah pengobatannya, lakukan dua hal
pula.
Pertama;
enyahkan keinginan untuk mendapatkan hak. Tapi berusahalah untuk masing-masing
diri menunaikan kewajiban terhadap pasangan semaksimal mungkin. Dengan
demikian, tidak akan ada yang saling menuntut satu sama lain. Yang ada adalah
berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi pasangan.
Itulah
teladan yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Misal, betapa beliau tidak marah-marah, ketika pulang rumah, tidak didapati
makanan di meja makan.
Untuk
membesarkan dan menghibur hati sang istri, beliau bertutur; “Aku tengah
berpuasa hari ini.”
Lapanglah
hati sang istri. Tidak diselimuti oleh rasa bersalah, karena tidak mampu
memberikan pelayanan terbaik bagi sang suami tercinta. Menghidangkan makanan.
Selanjutnya,
untuk solusi yang kedua; cobalah melatih diri untuk mengganti pusat penilaian.
Tidak lagi pada kelemahan pasangan. Tapi pada kelebihan lain yang dimiliki.
Itulah yang
dilakukan oleh Umar bin Khatthab. Beliau bersabar menghadapi istrinya yang acap
‘memarahi’nya, karena beliau menyadari akan besarnya andil sang istri dalam
urusan rumah tangga.
Istrilah
yang memasakkan, mengurus kebersihan rumah, mencuci baju, dan juga mendidik
anak-anak, tatkala beliau keluar rumah. Pekerjaan yang tidak ringan.
Coba
ingat-ingat. Apa yang terjadi di rumah, ketika istri tengah sakit. Bukankah
suami kalang kabut mengurusi segala sesuatunya.
Soal makan. Soal rumah. Baju kotor. Urusan anak. Dan seterusnya.
Semuanya menyita waktu dan pikiran. Yang tidak sedikit para suami ‘tumbang’
mengatasinya.
Demikian
pula para istri. Cobalah perhatikan para suami itu dalam bekerja. Peras
keringat. Banting tulang. Tersengat matahari. Itu semua untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga yang menjadi kewajibannya.
Bila masing-masing mampu mengalihkan titik penilaian, pada
masing-masing kelebihan dari pasangan, maka insya Allah benih cinta akan mampu
tumbuh kembang dengan baik.
Dan ini pula
yang dituntunkan dalam al-Qur’an. “Dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 237).
Sumber : www.hidayatullah.com
Post a Comment