Obsesi Tujuh Abad Sang Sultan dan Doa Guru yang Sholih
Ketika hendak mengawali tulisan ini, tiba-tiba saya
teringat dengan kisah yang dituliskan Ustadz Salim A Fillah di buku Jalan Cinta
Para Pejuang. Kisah tentang obsesi tujuh abad yang bergemuruh di dada seorang Sultan muda
yang baru 21 tahun usianya.
Tak sebagaimana lazimnya,
obsesi itu bukan mengeruhkan, melainkan semakin membeningkan hati dan jiwanya.
Dia tahu, hanya seorang yang paling bertaqwa yang layak menanggungnya. Dia
tahu, hanya sebaik-baik pasukan yang layak mengembannya.
Maka di sepertiga malam
terakhir menjelang penyerbuan bersejarah itu, Sang Sultan tegak di atas mimbar,
dan meminta semua pasukannya berdiri.
“Saudara-saudaraku di jalan
Allah”, ujarnya. “Amanah yang dipikulkan ke pundak kita menuntut hanya yang
terbaik yang layak mendapatkannya. Tujuh ratus tahun lamanya nubuat Rasulullah
telah menggerakkan para mujahid tangguh, tapi Allah belum mengizinkan mereka
memenuhinya. Kini kita harus memilih insan terbaik pula untuk memimpin semua.”
“Siapakah di antara kalian
yang sejak remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan
meninggalkan shalat wajin lima waktu, silakan duduk!” Seru sang Sultan. Tak seorangpun
pasukan muslim yang duduk. Semua tegak berdiri.
“ Siapa di antara
kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan shalat
sunah rawatib silakan duduk!” ujar Sang Sultan lagi. Sebagian lainnya perlahan duduk
dengan muka sedih. Sang Sultan
mengedarkan matanya ke seluruh rakyat dan pasukannya Kembali dia bertanya: “ Siapa di antara kalian yang sejak masa akhil
baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam?
Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk!”
Kali ini semua terduduk
lemas. Hanya satu orang yang masih berdiri. Dia, sang sultan sendiri. Namanya
Muhammad Al Fatih. Dan obsesi tujuh abad itu adalah Konstantinopel.
Ada satu lagi kisah tentang Al Fatih yang sering
terlewat dari benak kita. Sebab kesuksesan ini juga tak lepas dari peran sang
guru, Syaikh Aaq Syamsuddin. Dini hari ketika itu, jelang pertempuran, Al Fatih
berniat menemui sang guru. Namun, pasukan pengawal Syaikh Aaq Syamsuddin tidak
mengizinkan Al Fatih menemui gurunya. Rupanya, Syaikh Aaq Syamsuddin
ingin khusyuk mendoakan muridnya dalam sujud panjang qiyamul lailnya. Inilah
salah satu rahasia lain keberhasilan membebaskan Konstantinopel.
Usai qiyamul lail, Syaikh Aaq Syamsuddin memberikan
nasehat agar Al Fatih dan seluruh pasukannya berpuasa pada esok hari, senin 28
Mei 1453. Malamnya melaksanakan qiyamul lail berjama’ah, berzikir, dan berdoa
memohon pertolongan kepada Allah. Semua nasehat gurunya disampaikan dalam
pidatonya yang berkobar-kobar kepada semua pasukannya.
Maka, pada malam 29 Mei 1453, usai menunaikan
qiyamul lail, Al Fatih mengobarkan semangat jihad pasukan Janisarinya untuk
menuntaskan misi memindahkan kapal-kapal perang lewat jalan darat dan bukit
untuk bisa masuk selat tanduk emas. Karena itulah, titik terlemah benteng
Konstantinopel.
Misi itu pun tertuntaskan. 70 puluh kapal perang
berhasil dipindahkan lewan jalan darat dan masuk selat tanduk emas. Babak akhir
pembebasan Konstantinopel pun dimulai. Berbagai gempuran dan serangan
bertubi-tubi akhirnya mampu menjebol benteng Konstantinopel. Pada 29 Mei 1453
Konstantinopel berhasil dibebaskan oleh seorang pemuda belia nan saleh berusia
21 tahun.
Dalam konteks pendidikan, ada pesan penting
dalam perjuangan heroik membebaskan Konstantinopel, yaitu doa tulus dan khusyuk
dari seorang guru sholih untuk muridnya yang sholih. Doa itu melesat menembus
langit ketujuh, menggetar Arsy, dan sampai kepada Allah. Allah pun mengijabah
doa tulus nan khusyuk dari guru saleh dan bertakwa. Konstantinopel pun berhasil
dibebaskan.
Maka, kita bertanya adakah para guru mendoakan
murid-muridnya dalam sujud panjang tahajudnya? Adakah para guru
bersungguh-sungguh men-sholih-kan dirinya agar doanya menembus langit ketujuh
dan menggetarkan Arsy?
Galih Setiawan, Redaktur Majalah Fahma
Galih Setiawan, Redaktur Majalah Fahma
Post a Comment