Pendidikan Itu Mulai dari Sini
Oleh : Subliyanto
Secara umum, belajar atau menuntut ilmu merupakan sebuah kewajiban
setiap manusia. Hal itu sebagaimana telah disampaikan oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dalam sabdanya : “Menuntut
ilmu adalah wajib atas setiap muslim”. (HR. Muslim).
Bahkan, dikatakan juga bahwa kewajiban belajar diperintahkan kepada
manusia sejak ia lahir hingga nafasnya berakhir. “Tuntutlah
ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat”.
Walaupun status kalimat di atas debatible
di pandangan para ahli, hikmah yang bisa kita ambil dari kalimat ini adalah
motivasi urgensi belajar atau menuntut ilmu bagi manusia. Maka dikatakan dalam
untaian kalimat hikmah bahwa :
“Bersegeralah dalam mendidik anak sebelum kalian disibukkan oleh
berbagai kesibukan. Sebab semakin pandai akal orang dewasa, maka hatinya pun
juga semakin sibuk”. (Prophetic Parenting Hal. 19).
Hakikat belajar adalah mempelajari sesuatu yang tidak atau belum
diketahui agar menjadi pengetahuan guna bisa bermanfaat, baik bagi dirinya dan
juga bagi orang lain. Maka belajar tidak dibatasi usia, pun juga tidak dibatasi
ruang dan waktu.
Hanya saja secara formal kegiatan belajar dilakukan di lembaga
pendidikan atau yang disebut dengan sekolah, dan disebutlah sebagai pendidikan
formal, dengan beragam klasternya. Mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
Taman Kanak-kanak (TK) dan yang sepadan, Sekolah Dasar (SD) dan yang sepadan,
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan yang sepadan, Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan yang sepadan, hingga Sekolah Tinggi beserta jenjang dan prodi-prodinya.
Di luar kegiatan tersebut secara hakiki juga bagian dari belajar, mulai
dari lingkungan keluarga, masyarakat, hingga dimanapu dan kapanpun manusia
berada hakikatnya adalah ladang untuk belajar. Hal itu semua disebut dengan
pendidikan non formal. Artinya pendidikan secara alamiyah yang dilakukan tanpa
skenario manjemen formal.
Secara sumbangsih pembentukan karakter manusia, pendidikan non formal
mempunyai peran penting bagi kualitas diri manusia. Karena konsepnya tidak
sebatas teoritis akan tetapi lebih pada aplikatif duplikatif.
Sehingga peran sosok yang dianggap sebagai guru menjadi penting,
terlebih dalam keluarga, dimana keluarga sebagai lembaga pendidikan utama,
karena ia akan ditiru dalam segala aspek kesehariannya. Mulai dari tutur
katanya hingga tindak tanduknya.
Dan, sejatinya inilah yang harus mendapatkan perhatian lebih, khusunya
bagi para orang tua yang mendampakan putra-putrinya menjadi anak yang baik
karakternya. Karena karakter terbentuk selain dari faktor biologis, juga
terbentuk berdasarkan faktor “habit” atau kabiasaan.
Contoh kecil misalnya, jika kita ingin mendidik anak kita santun dalam
berbicara dan menggunakan bahasa, maka mulailah dari orang tua yang juga
menngunakan bahasa yang santun dalam berkomunikasi dengan putra-putrinya.
Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing
yang notabeni mempunyai klaster gaya bahasa tersendiri dalam berkomunikasi,
seperti misalnya bahasa Madura, bahasa Jawa, dan bahasa derah lainnya yang
mempunyai ciri khas yang sama dalam persepektif penghormatan dalam
berkomunikasi.
Sepintas hal ini terlihat sepele, namun membawa dampak luar biasa
terhadap karakter putra-putri kita. Sebab, sangat tidak relevan jika kita ingin
mendidik anak kita santun dalam berbicara akan tetapi kita sendiri sebagai
orang tua yang menjadi cermin utama anak kita dalam berkomunikasi tidak
mempraktikkannya pada anak-anak kita. Itu baru bahasa, bagaimana dengan
habitual lainnya?.
Sebagai ilustrasi, karakter manusia bak sebuah stempel yang sekali
ditempel di kertas susah untuk dihapusnya. Dan karakter lebih dominan dibentuk
oleh kebiasaan dan pembiasaan. Maka sebelum terlambat bangunlah
kebiasaan-kebiasaan baik dalam setiap aspek kehidupan kita.
Pendidikan non formal sangat amat penting, tapi tentu juga dengan tidak
melupakan jalur pendidikan formal, karena pada pendidikan formal merupakan
gudang teori ilmu pengetahuan yang sudah tersusun secara sistemis berupa
kurikulum sesuai dengan psikologis masa pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sudah manusiawi, siapapun kita yang mempunyai amanah sebagai orang tua
mengharapkan putra-putri kita menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Maka
satu-satunya cara adalah dengan memaksimalkan peran kita dalam mendidik dan segala
aspek yang berkaitan dengan pendidikan merupakan solusinya.
“Sesungguhnya aku percaya akan kekuatan ilmu dan pengetahuan. Tetapi
aku lebih percaya pada kekuatan pendidikan”. (Sayyid Quthb, majalah ar-Risalah
edisi 995 tahun 1952).
Semoga cacatan singkat ini bermanfaat, khusunya bagi kita sebagai orang
tua, sehingga impian dan dambaan kita mempunyai anak yang shaleh dan shalehah
tidak hanya sebatas angan-angan semata, akan tetapi menjadi wujud nyata yang
akan membahagiakan kita. Amin… Wallahu a’lam.
Subliyanto, Penulis adalah pemerhati sosial dan
pendidikan asal Kadur Pamekasan. Sumber : limadetik.com
Foto : rmol_banten
Post a Comment