Steve Jobs, Cita-cita, dan Masa Depan Anak Kita



Oleh : Syaiful Anshor

Cita-cita itu sangat penting. Saking pentingnya, Soekarno pernah berpesan, “Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau terjatuh, engkau akan jatuh di antara bintang bintang.”

Sebenarnya, bukan hanya Bapak Proklamator yang menyuruh kita bermimpi setinggi langit. Orangtua, guru, dan tetangga juga demikian. Buktinya, dulu sewaktu kecil, sering ditanya, “Apa cita-citamu kalau sudah besar, Nak?”

Jawabannya waktu itu macam-macam. Pokoknya yang tinggi-tinggi, hebat-hebat. Seperti petuah Soekarno. Apalagi waktu itu masih duduk di bangku SD. Saat terinspirasi kisah-kisah hebat, dan sukses. Ingin jadi insinyur pesawat terbang seperti BJ. Habibie. Bahkan ingin jadi presiden seperti Soekarno. Terwujud atau tidak, itu urusan belakang. Yang penting bercita-cita dulu.

Cita-cita sangat penting karena dianggap dapat memotivasi anak. Anak yang memiliki cita-cita, biasanya akan mudah mem-visualisasikannya. Contohnya, ketika anak ingin menjadi dokter. Pikirannya selalu tertuju pada dunia dan profesi seorang dokter: pengobatan, jarum suntik, resep, dan obat. Hal ini biasanya disebut kekuatan mimpi: The power of dream.

Itu juga yang dilakukan Steve Jobs, pendiri perusahaan multiraksasa yang berkantor di California, Amerika Serikat. Sejak kecil, Jobs ingin mengubah dunia tekhnologi elektronik dan komputer. Bersama temannya, Steve Wozniak, Jobs membuat alat sadap. Berhasil. Alat itu lalu digunakan untuk merekam percakapan ayahnya.

Apa yang dicita-citakan Jobs terwujud. Pada 1 April 1976, Jobs bersama sahabatnya itu mendirikan Apple. Mimpi Jobs yang dibangun sejak kecil lambat-laun terwujud dan semakin besar. Uangnya juga semakin banyak. Tahun 2011, kekayaan Jobs mencapai sekitar US$ 8,3 miliar dan termasuk salah satu orang terkaya di negeri Paman Sam.

Sayangnya, Jobs tidak bisa menikmati kesuksesan dan kekayaan itu. Saat sedang berada di puncak sukses, pada 2011 Jobs meninggal dunia. Kekayaan Jobs diwariskan kepada istrinya, Laurene Powell Jobs. Padahal, kekayaan itu naik drastis pada tahun 2014 hingga menjadi US$ 14 miliar atau senilai Rp 159 triliun.

Kisah Steve Jobs jadi bukti bahwa cita-cita itu penting. Karena itu, orangtua harus membangunkan cita-cita kepada anak. Sebab, biasanya, anak yang punya cita-cita, gairah belajarnya tinggi, punya semangat hidup, dan masa depan yang ingin dicapai. Apalagi, jika cita-cita itu dibimbing dan dibantu orangtua untuk mewujudkannya. InsyaAllah, bisa terwujud.

Berbeda anak yang tidak punya cita-cita. Biasanya, semangat belajarnya biasa saja. Bahkan mengalir begitu saja. Tak ada tantangan. Apalagi, jika sampai takut bercita-cita, dan ini berbahaya, “Saya hanya orang miskin yang sekadar bercita-cita saja tak layak. Tak mungkin bercita-cita menjadi orang hebat. Paling banter nanti jadi petani seperti Ayah saya.”

Setinggi Surga
Orang tua seharusnya membimbing cita-cita anak. Bagaimana pun keadaanya. Ajaklah anak mengembarakan cita-cita setinggi mungkin. Hanya saja, sebagai orang beriman, cita-cita seharusnya tidak hanya digantung setinggi langit dunia, tetapi hingga ke akhirat di surga firdaus.

Bagi orang beriman, cita-cita yang diniatkan karena Allah bisa jadi ibadah. Usaha-usaha untuk meraihnya pun bisa bernilai pahala. Tak sia-sia. Berbeda jika diniatkan bukan karena Allah dan hanya untuk kesuksesan duniawi semata. Niat ibadah dalam meraih cita-cita bisa jadi energi dan dapat mengundang pertolongan Allah. Langkahnya dipermudah. Sesulit apa pun rintangan bisa dilewati. Setinggi apa pun cita-cita, insyaAllah bisa digapai.

Sebagaimana panglima Al-Fatih, Penakluk Konstantinopel. Kedua orangtua, dan guru-gurunya sejak kecil telah mendidiknya menjadi pembebas emperium yang kuat itu. Meski banyak orang meragukan bahkan mencibirnya. Namun, karena kegigihan dan keyakinan kepada Allah, akhirnya Konstantinopel dapat ditaklukkan. Islam bisa berjaya di sana.

Kesuksesan Al-Fatih bukti bahwa tidak ada yang mustahil. Sehebat dan setinggi apa pun cita-cita, jika dilandasi niat yang lurus, bimbingan para guru, dan dukungan orangtua, apa pun cita-citanya tak mustahil terwujud. Hanya saja orangtua perlu meluruskan niat anak. Jangan sampai salah. Meraih impian di masa depan bukan persoalan duniawi, tetapi karena ibadah.

Kenapa? Karena dunia bukan tujuan. Kehidupan di dunia hanya sebentar. Akhiratlah yang abadi. Salah jika menjadikan dunia tujuan hidup dan melupakan akhirat. Mari renungkan firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 32, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu memahaminya?”

Ayat ini menyadarkan kita bahwa setinggi apa pun cita-cita yang diraih anak-anak kelak, jika kehidupan akhiratnya gagal, tak ada gunanya. Sungguh merugilah seorang pengusaha sukses yang bergelimang harta, tetapi jika dari rezekinya itu tidak sedikit pun diinfakkan di jalan Allah. Tak ada gunanya pejabat negara, menteri, bahkan presiden sekali pun jika tidak mengabdi dan beribadah kepada Allah.

Menata niat dan meluruskan tujuan hidup jauh sebelum anak menjadi orang sukses di masa depan mereka kelak seperti yang dicita-citakan sangatlah penting. Benarnya niat akan memengaruhi proses. Tujuan yang besar jika dilandasi niat yang benar dan ditempuh dengan proses yang baik akan meraih hasil gemilang dan penuh berkah.

Jangan sampai tujuan dan landasan anak-anak kita dalam bercita-cita hanya untuk menjadi orang hebat, kaya raya, terpandang, dan kehidupan mewah lainnya. Jangan! Itu hanya asbab. Tetapi sejatinya, itu semua sarana untuk beribadah kepada Allah dan meraih surga kelak di akhirat. Perhatian, kerja-kerja, pikiran boleh kepada dunia. Hanya jangan sampai mendominasi dan melupakan akhirat.

Teringatlah satu doa yang dipanjatkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia menjadi perhatian utama kami serta batas pengetahuan kami.” (HR. Tirmizi-Hasan).

Merawat Cita-Cita
Cita-cita itu seperti benih yang baru tumbuh. Jika tidak disiram atau diberi pupuk bisa tidak tumbuh subur atau bahkan mati. Begitulah juga cita-cita. Anak kita bisa saja melupakan cita-citanya, dan tidak bersemangat untuk mewujudkan. Karena itu, cita-cita anak harus dirawat dan dibesarkan.

Ummu Muhammad punya cara menarik untuk merawat cita-cita putranya, Muhammad Al-Fatih untuk menaklukkan Konstantinopel. Salah satunya dengan menceritakan sejarah para pejuang dan pahlawan Islam yang gagah berani seperti Muzhaffar Quthuz, Shalahuddin Al-Ayubi, Nuruddin Zanki, dan Mahmud Zanki.

Dia juga tidak memperlakukan anaknya lembek seperti ayam potong. Buktinya, ketika Al-Fatih sedang bermain dengan temannya lalu jatuh dan berdarah dia datang mengadu keibunya. Melihat itu, Ibunya justru berkata, “Bersihkan lukamu, dan bermainlah dengan lebih hati-hati, agar kelak kamu bisa menaklukkan Konstantinopel.”

Anak-anak yang didik seperti inilah yang tahan banting dan konsisten meraih cita-cita. Tidak mudah menyerah. Tentu cita-cita yang tidak saja setinggi langit, tetapi juga setinggi surga firdaus. Jangan sampai anak-anak kita sukses meraih cita-cita dunia lalu gagal meraih akhirat.

Sebab, sebanyak apa pun kesuksesan di dunia tidak akan dibawa mati. Sebagaimana Steve Jobs. Meski sukses membangun Apple dan menjadi orang kaya raya, ketika mati hartanya sebanyak US$ 8,3 miliar tetap tidak dibawa mati dan diwariskan kepada istrinya, Laurene Powell Jobs.

Sedangkan kelak, jika orangtua telah tiada, yang ditunggu di alam kubur dari putra-putrinya adalah pahala jariah berupa doa-doa terbaik dari anak yang shaleh.

Balikpapan, 11 Oktober 2019

Syaiful Anshor, Jurnalis dan Penulis Buku
Foto Budi CC Line
Powered by Blogger.
close