Ilmu dan Fitnah Popularitas


Oleh : Masykur Suyuthi

ADA BERAGAM jenis manusia yang hidup dan pernah mendiami dunia yang fana ini. Mereka dicipta dengan keadaan yang berbeda-beda. Masing-masing punya kebiasaan hidup dan perilaku yang tidak sama.
Ada banyak manusia yang perbuataannya baik dan terpuji. Tapi tidak sedikit yang buruk perangainya dan suka melakukan tindakan tercela semasa hidup dahulu. Ada yang bahkan begitu popular hingga menjadi ikon terkenal karena sifat dan perbuatan yang dimiliki tersebut.
Demikian itu terdapat dalam al-Qur’an. Selain panduan hidup berisi aturan dan batasan, perintah dan larangan, al-Qur’an juga memuat sejumlah kisah tentang jejak–jejak manusia.
Selanjutnya, yang tercatat itu menjadi orang-orang yang terkenal dan populer. Sepanjang kisah mereka dibaca sebentang itu pula kisah tersebut diceritakan turun-temurun hingga akhir zaman nanti.
Inilah hikmah yang mesti diingat oleh para pembelajar dan orang-orang yang menuntut ilmu. Bahwa popularitas atau ketenaran dunia bukanlah puncak dari ilmu yang dikejarnya hingga berpayah-payah selama ini. Nyatanya, ada manusia perbuatannya terpuji, yang memang layak ditiru kebaikannya. Namun ada juga akhlaknya buruk dan punya kebiasaan jelek. Demikian itu tentu untuk diambil pelajaran dan dijauhi perbuatannya.
Al-Qur’an mengabadikan itu semua sebagai pelajaran mahal bagi manusia. Jenis pertama, biasa dikenal dengan sebutan uswah atau qudwah yang bermakna teladan baik. Biasanya ia ditujukan kepada hal-hal positif yang patut diketahui dan dijadikan contoh dalam kehidupan manusia.
Dalam urusan ini, yang terdepan tentu saja adalah Nabi Ibrahim Alaihis salam yang dijuluki Abul Anbiya (Bapak dari keseluruhan nabi) dan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Ia adalah Khatamul Anbiya (Penutup dari semua manusia terbaik utusan Allah). Keduanya secara khusus disebut sebagai uswah dalam al-Qur’an.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah,” (Al-Ahzab [33]: 21) Firman Allah lainnya, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya…” (Al-Mumtahanah [60]: 4).
Jenis kedua, disebut ibrah atau pelajaran. Biasanya ditujukan bagi manusia, kaum, atau sekelompok masyarakat yang membangkang, tidak bersyukur, dan gemar melakukan perbuatan maksiat.
Orang-orang tersebut juga tercantum sifat dan sepak terjangnya selama menghuni hamparan bumi ini. Tapi kisah mereka bukan sebagai panutan untuk dituruti. Justru mereka disebut untuk jadi pelajaran nyata yang harus dijauhi. Bahwa maksiat itu dampaknya bukan hanya kepada pribadinya saja, tapi juga hingga ke lingkungan sekitarnya bahkan berimbas ke seluruh masyarakat pada umumnya.
Kaitan dengan ilmu kembali, inilah yang layak jadi renungan secara mendalam. Tersurat hikmah besar mengapa Rasulullah mengajarkan satu doa yang agung kepada para penuntut ilmu dan seluruh stakeholder pendidikan yang ada. Allahumma inna nas-aluka ilman nafi’an. Bahwa yang dibutuhkan dan yang layak diratapkan setiap waktu adalah ilmu yang bermanfaat.
Bukan sekadar mengejar gelar yang berderet panjang. Tidak hanya terobsesi pada popularitas atau status sosial lagi prestisius yang menyertai. Namun semata-mata berharap ilmu yang bermanfaat saja.
Apa itu ilmu yang bermanfaat? Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mengantar kepada shiratal mustaqim (jalan yang lurus). Ilmu yang menjadikannya selalu mengingat Allah.
Mengingatkan dirinya bahwa selamanya Allah itu Maha Besar dan Maha Luas ilmunya. Sedang manusia adalah makhluk bodoh yang kalaupun punya ilmu, maka pengetahuannya tak melebihi satu tetes air yang melekat di jari tangannya yang kotor.
Jika demikian lalu mengapa masih ada manusia yang bangga hanya karena dirinya populer (viral) dan selalu dibicarakan (trending topic) di kalangan manusia? Adakah ia lupa dengan kisah Bani Israil? Mereka berulang kali termaktub dalam kitab suci al-Qur’an. Tapi itu bukanlah jaminan kebaikan yang dipunyai.
Bahkan, hingga akhir zaman nanti, justru mereka menjadi dalang daripada rusaknya peradaban manusia. Padahal tak sedikit Anbiya utusan terbaik Allah yang dikirim untuk mendakwahi mereka secara langsung.
Kisah teranyar, apalah arti ketenaran dan gelar akademik tinggi, kalau ternyata ilmu yang dihasilkan justru berani menabrak syariat Allah. Sekurangnya orang tersebut telah menebar syubhat dan membuat kegaduhan di tengah umat Islam. Kabarnya itulah kesimpulan ilmu yang dituangnya dalam penelitian disertasi kontroversial, beberapa waktu lalu.
Perjalanan ilmu yang panjang justru berujung melegalkan zina atau hubungan manusia di luar jalur penikahan yang sah. Inilah popularitas yang sia-sia belaka. Bahkan sungguh itu mencelakakan. Jika ternyata ia benar-benar sekadar mengejar ketenaran di mata manusia tersebut.
Masykur Suyuthi, Wartawan Hidayatullah
Powered by Blogger.
close