Iqra’ dan Robot Ilmu
Oleh : Masykur
Suyuthi
MANUSIA bukan
robot. Robot bukan manusia. Semua orang tahu perbedaan dua entitas ini. Meski
ada yang mungkin berimajinasi dalam khayalannya, kayak apa manusia kalau
menjadi robot. Apakah keduanya bisa menyatu dalam satu tubuh? Setidaknya jadi
setengah orang dan separuh robot.
Seperti yang diperankan tokoh polisi robot bernama Alex Murphy pada
film Robocop.
Sebuah karya bergenre laga fiksi tentang tingginya angka kriminalitas dan upaya
penanggulangannya di tengah masyarakat Kota Detroit, Amerika Serikat.
Selain tampilan fisik, perbedaan pokok antara manusia dan robot adalah
soal akal dan hati. Robot tak punya akal untuk menalar sesuatu. Ia hanya mesin
yang dicipta dengan seperangkat data, ada perintah dan larangan untuknya.
Biasanya semua itu disimpan dalam satu memory
chip yang ditanam pada sekujur badannya.
Soal hati, rasanya lebih terang lagi. Bahwa robot itu tak punya jiwa di
dalam raganya. Baginya tidak ada istilah perasaan atau lubuk nurani. Sedang
manusia, atas kehendak Penciptanya, dirupa sedemikian sempurna. Paripurna
dibanding semua makhluk-Nya. Ada jasmani pada panca indra. Ada ruhani bersama
hati, serta akal pada otaknya.
Hati manusia selanjutnya didapuk jadi jenderal. Ibarat pasukan perang,
dialah yang mengomando dan menggerakkan semua indra pasukannya. Hati juga
berfungsi sebagai pengontrol pikiran manusia. Apa yang dipikir, apa yang
diperbuat orang trrsebut umumnya adalah cermin dari kondisi hatinya pada saat
itu.
Dengan lisannya yang mulia, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“… Ingatlah bahwa di
dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh
jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah
hati (jantung)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Apa kaitannya dengan ilmu? Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3,
disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jadi murid yang sekolah, mahasiswa yang kuliah, dan semua orang yang
ramai-ramai belajar dan menuntut ilmu, tujuan utamanya bukan untuk sekadar
dapat kerja. Apalagi demi selembar kertas ijazah. Tidak pula agar gajinya lebih
tinggi karena koleksi ijazahnya yang lebih banyak dan berlembar-lembar daripada
yang lain.
Sebab manusia bukan robot yang dimunculkan untuk jadi mesin yang bekerja
tanpa henti. Ia bukan robot yang tahunya hanya berurusan dengan mesin atau
kertas. Manusia bukan robot yang orientasi hidupnya cuma kerja, kerja, kerja,
dalam arti urusan duniawi semata.
Namun tujuan pendidikan itu ialah mengembangkan potensi karsa manusia
untuk menjalankan amanah khalifah di dunia. Lebih pokok lagi, output pendidikan
sejatinya harus memastikan manusia pada garis fitrahnya sebagai makhluk yang
menghamba kepada Tuhannya.
Lebih jauh, kalau skill dan kompetensi manusia bisa dijamin dari
almamater dimana dulu ia bersekolah atau kuliah. Sekurangnya dari apa yang
ditekuninya selama ini. Sebagai contoh, jika ingin jadi dokter tentu belajarnya
dari ilmu kedokteran. Bukan diambil di jurusan teknik atau akademi militer.
Bedanya, untuk menimba adab sebagai pasangan ilmu, maka almamater atau
tempat kuliah itu bukan jaminannya secara penuh. Mengapa? Sebab adab tak cukup
diketahui atau dihafal, langsung selesai. Adab juga tidak ujug-ujug lahir hanya
karena nilainya dapat A melulu sewaktu ujian tulis.
Selain diilmui secara teori, adab juga mesti dibiasakan dalam praktik.
Sampai kapan? Jelasnya ia butuh waktu lebih lama dan durasi lebih panjang.
Bahkan kadang melampaui masa pencarian ilmu itu sendiri. Dalam satu riwayat,
Ibnul Mubarak berkata, kami mempelajari adab selama 30 tahun sedangkan kami
mempelajari ilmu selama 20 tahun.
Tak kalah pokok lagi. Adab itu perlu didoakan serta dimunajatkan dengan
sungguh-sungguh. Baik oleh sang anak, orangtua, guru, hingga setiap orang-orang
yang hadir di sekelilingnya.
Kenapa harus doa? Karena ilmu dan adab yang benar lahir dari hati yang
bersih. Hati yang selalu terkondisikan dengan mengingat Allah Sang Pemilik
hati. Ada tafakkur juga tadzakkur dalam
hidup. Mengantarnya senantiasa mengingat kebesaran Allah Rabbul Alamin. Demikian
pesan singkat dari Kalam Ilahi, “Iqra
bismi Rabbikalladzi khalaqa,”
“Iqra”
yang kebablasan bisa saja menjadikan orang itu sebagai tokoh terkenal,
cendekiawan hebat, atau ilmuwan yang disegani manusia. Tapi lihat saja. “Iqra”
yang kehilangan adab akan melahirkan kegelisahan. Orang-orang jadi resah dan
khawatir dibuatnya. Bukan bahagia yang dipancarkannya. Sungguh diapun galau.
Hendak kemana ilmu ini dibawa? Tanpa adab yang sebagai suluhnya.
Masykur Suyuthi, Pendidik
di Kampus Induk Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak Balikpapan
Sumber : www.hidayatullah.or.id
Post a Comment