Jika Aku Tumbuh Dewasa

Oleh : Rostika Hardianti

Dulu, semasa kanak-kanak bayang-bayang menjadi orang dewasa adalah santapan sehari-hari. Ya, karena menjadi dewasa terlihat sangat menyenangkan bisa melakukan berbagai aktivitas tanpa banyak larangan dari orangtua, berbaur dengan banyak orang, dan membahas suatu topik yang membuat satu sama lain antusias.

Namun, seiring berjalannya waktu usia ini bertambah. “Kini aku menjadi dewasa. Oh ternyata begini ya rasanya! Masyaa Allah.”  Gumam dalam hati, seseorang yang dulunya ingin cepat dewasa (aku).

Hingga akhirnya, makna dewasa kini bergeser bukan lagi tentang usia, melainkan dewasa dalam hal kematangan pola pikir, sikap, ucapan, dan bagaimana menempatkan diri di tengah-tengah kondisi yang kurang mengenakkan. Situasi yang semakin beragam, menuntut manusia dewasa ini menjadi pribadi yang bijaksana dengan santun.

Masa dewasa adalah tahap perkembangan manusia yang paling lama. Berkisar antara 18-40 tahun. Menjadi dewasa, artinya kini kita harus memahami ada hal yang sekilas sama namun berbeda. Antara memaafkan dan melupakan. Antara belajar dan bersikap, menghafal dan mengamalkan, berbicara dan berbuat.  Artinya, antara ilmu dan amal selaras, antara hati dan ucapan seiring sejalan, dan antara pengetahuan dengan sikap satu amalan yang lurus lagi benar.

Tolok ukur menjadi dewasa adalah bagaimana kesungguhan (mujahadah) kita untuk bisa mengamalkan ilmu ke dalam akhlak dan hati. Seringkali penyakit hatilah yang mengurung kedewasaan kita. Mengapa? Karena hati ini tunduk pada nafsu amarah bisu’ yang melemahkan jiwa manusia. Seperti mudah marah, dengki, ujub, sum’ah dan lainnya. Sehingga penyakit hati yang membuat kita menepiskan kebenaran orang lain dan menganggap hanya diri kita yang benar.

Maka, langkah terbaiknya adalah menyediakan waktu untuk berkontemplasi (muhasabah) dan refleksi terhadap amalan batin dan dzahir yang telah kita lakukan selama ini. Hindarkan untuk sibuk dengan kebahagiaan yang diterima orang lain. Syukuri apapun yang kita miliki. Ikhlaskan apapun yang hakikatnya memang bukan milik kita.

Kini, kita adalah manusia dewasa yang menanggung sendiri pahala dan dosa perbuatan kita di dunia. Menjadi dewasa tidak cukup dengan usia yang berbilang, melainkan iman yang terus bertambah dan sikap ihsan dalam setiap amalan. Mari, bersama bertumbuh mendewasa seiring sejalan hanya untuk mendapat ridha Allah. Berikhtiar dalam menyelaraskan ilmu dan amal.

Selamat mendewasa, selamat memperjuangkan surga!

Rostika Hardianti, Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Indonesia
Powered by Blogger.
close