Kekerasan Uighur dan Imbauan Boikot Produk China
Oleh: Imam Nawawi
KEKEJAMAN pemerintahan China terhadap Muslim Uigur di Xinjiang kini telah terbuka oleh mata dunia. Beragam kecaman hingga respons tajam berdatangan dari beragam negara di dunia, tidak terkecuali Amerika, Turki, dan Malaysia.
Ulama terkenal di Malaysia, Mohd Asri bin Zainul Abidin, menyerukan agar negara-negara Islam di dunia mengeluarkan sebuah gagasan boikot atas produk-produk China demi mendesak negara itu agar mengakhiri penahanan terhadap etnis minoritas Uighur. Masyarakat etnis Uighur sebagian besar tinggal di wilayah Provinsi Xinjiang, China.
Dikutip dari aljazeera.com, Mohd Asri mengatakan para politikus dan pemimpin agama dari negara-negara Muslim dunia harus memberikan tekanan ekonomi dan diplomatik lebih besar kepada Beijing atas perlakuannya kepada etnis minoritas Uighur.
“Kita harus melangkah pada cara yang lebih luas, yakni memboikot produk-produk China. Mereka (Beijing) tahu kekuatan pembelian kita,” kata Mohd Asri, di sela-sela pertemuan Kuala Lumpur Summit di Malaysia seperti dikutip oleh beragam media online Tanah Air.
Seruan ulama Malaysia itu terbilang progresif karena sejatinya di era modern seperti sekarang sebuah negara yang memiliki kekuatan besar pada dasarnya juga mudah untuk menyadari kelemahannya. Tentu saja ketika negara-negara kecil atau negara berkembang yang menjadi pangsa pasar negara besar bisa memainkan peran strategisnya dalam dunia ekonomi, sehingga keberadaannya bukan sebagai konsumen yang memiliki ketergantungan, tetapi konsumen yang memiliki kekuatan pengendali.
China tentu saja memiliki kekuatan ekonomi yang besar saat ini, namun kekuatan itu tidak mutlak berdiri di atas kaki sendiri. Jika populasi umat Islam dunia yang berjumlah 2 miliar itu memboikot produk China, maka sudah barang tentu negeri tirai bambu itu akan berpikir ulang untuk terus melakukan penindasan kepada Muslim Uighur di Xinjiang.
Pilihan umat Islam secara serentak memboikot produk China tentu saja akan menjadikan negara yang dinahkodai Xi Jinping itu terganggu ekonominya, sehingga kalkulasi mereka untuk meneruskan perampasan hak asasi manusia atas Muslim Uighur dapat segera mereka hentikan.
Namun, benarkah umat Islam mau dan mampu memboikot produk China yang kini nyaris dalam segala sisi kehidupan umat manusia?
Urusan handphone misalnya, China telah memiliki 10 merek yang sebagian besar produknya menjadi favorit pasar kelas entry level. Bahkan China tidak saja memiliki handphone tetapi juga laptop hingga mobil.
Kita ketahui bersama bahwa faktor pendorong munculnya rasa percaya diri yang begitu tinggi dari China dalam melakukan ekspansi di berbagai negara adalah karena ekonomi. Kualitas produk-produk China sekalipun tidak selevel dengan produk Barat, keberadaannya di Indonesia sudah mampu menggeser dominasi produk-produk negara-negara Barat. Di bidang otomotif misalnya, kini di Indonesia terutama di Jakarta sudah bukan hal asing lagi melihat mobil-mobil buatan China berlalu-lalang di jalanan ibukota. Sepanjang 2018 penjualan mobil dari China di Indonesia mencapai 1.151.413 unit, lebih tinggi dibandingkan penjualan 2017 sebanyak 1.079.886 unit, menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo.
Artinya, produk-produk China di Indonesia bukan sebatas telah masif namun juga menjadi pilihan sebagian kelas pasar. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan besar terhadap China. Jika posisi China yang mulai menanjak secara ekonomi di Indonesia ini bisa dijadikan sasaran perlawanan umat Islam untuk membela Muslim Uighur sudah barang tentu China akan berpikir serius atas keputusan-keputusan buruk mereka terhadap Muslim Uighur.
Patut disadari bahwa umat Islam secara global memang belum memiliki kekuatan ekonomi seperti China. Akan tetapi posisi sebagai konsumen sejatinya juga memiliki kekuatan yang cukup memadai untuk menjadikan negara-negara produsen berpikir ulang dalam melakukan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan. Sebab dalam hal perdagangan, China bisa dikatakan cukup bergantung pada konsumen Indonesia.
Akan tetapi hal ini bukan langkah yang bisa otomatis menjadi pilihan umat Islam di Indonesia bahkan dunia. Hanya saja langkah boikot ini terbilang sangat efektif sementara ini. Andai saja seluruh umat Islam betul-betul mampu melakukan boikot terhadap produk China di Indonesia saja, maka sudah barang tentu ekonomi China akan mengalami gangguan serius. terlebih jika umat Islam seluruh dunia bersatu melakukan hal yang sama demi menyelamatkan Muslim Uighur.
Tantangan umat
Sekalipun efektif untuk sementara waktu, sejatinya memboikot produk China atau negara manapun nantinya yang merampas hak asasi dan hak kemerdekaan bangsa di dunia ini bukanlah solusi absolut. Boikot sebenarnya tidak boleh menjadi andalan umat Islam.
Perlu ada langkah-langkah strategis dan konkret yang dapat dipersiapkan untuk menjadikan umat Islam ke depan mampu hadir sebagai produsen dengan kualitas produk yang bersaing dan dapat diandalkan. Sayangnya di Indonesia umat Islam masih lebih banyak tersedot perhatiannya berkomentar pada hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk direspons. Akibatnya umat Islam selalu tidak pernah berhasil menjadi kelompok yang diperhitungkan dalam persaingan global terutama menghadirkan produk-produk yang dibutuhkan.
Sekiranya umat Islam memiliki kemampuan dalam hal memproduksi barang-barang yang dibutuhkan masyarakat dunia tentu saja boikot tidak perlu diserukan. Sebab dengan sendirinya orang Islam tentulah akan memilih produk-produk sesamanya dibanding membeli produk dari orang lain yang tentu saja kadang kala sama sekali tidak memiliki rasa hormat dan belas kasihan kepada umat Islam.
Realitas pahit ini juga menjadi sebuah pelajaran sekaligus pengingat bahwa umat Islam memang harus maju secara ekonomi. Jika kita hubungkan dengan sejarah kenabian Rasulullah Muhammad ï·º maka kita akan temukan mutiara indah bahwa sesungguhnya umat Islam memang harus menguasai perdagangan.
Sebab dari seluruh Nabi dan Rasul hanya Nabi Muhammad ï·º yang berprofesi sebagai seorang pedagang. Hal ini mengindikasikan bahwa tantangan besar umat Islam akhir zaman adalah perekonomian. Dan, bagaimana umat Islam bisa terkalahkan secara ekonomi sedangkan Nabi yang dicintai, diikuti dan diteladani awalnya adalah seorang pedagang sukses, raja ekonomi dunia yang telah mampu melahirkan manusia-manusia berkualitas di bidang ekonomi dan perdagangan yang amalnya tetap lestari hingga sekarang, seperti Utsman bin Affan.
Dari pentas sejarah itu sebenarnya kita dengan mudah dapat memahami bahwa kontestasi akhir zaman adalah kontestasi perdagangan, yang dalam bahasa militernya bisa kita sebut sebagai economic war. Inilah yang menjadi dasar, pemicu dan pemacu beragam negara besar di dunia berebut pengaruh dan sangat ingin mengendalikan negara-negara kaya sumber daya alam yang mereka sebut sebagai negara dunia ketiga. Allahu a’lam.*
Post a Comment