Lucu dan Receh
Oleh : Salim Afillah
Wahai Imam”, ujar
seseorang pada ‘Alimnya Tabi’in Kufah, Amir ibn Syurahbil Asy Sya’bi,
“Jikalau aku mandi di
sebuah sungai, maka ke manakah aku harus menghadap? Apakah ke arah kiblat,
membelakanginya, atau menghindar dari arah keduanya? Dan bagaimana pula jika
suatu kali aku tak tahu di mana arah kiblat?”
Imam Asy Sya’bi tersenyum.
Imam Asy Sya’bi tersenyum.
“Menghadaplah
ke arah di mana pakaianmu kau letakkan”, ujarnya lembut, “Agar jangan sampai ia
terhanyut atau diambil orang.”
Imam Asy Sya’bi
barangkali tak berniat melucu. Tapi jawaban beliau menerbitkan senyum,
sekaligus membawa kita ke perenungan panjang bahwa agama ini mudah, dan siapa
mempersulitnya justru akan memayahkan diri sendiri.
Jadi, apakah “lucu” itu?
Menurut Kang @daan_aria,
ada banyak tingkatan lucu. Dan yang paling tinggi adalah ketika kelucuan itu
membuat setiap penyimaknya menertawakan diri sendiri, bermuhasabah terus dengan
interpretasi masing-masing yang tak selalu sama satu dengan yang lain,
senantiasa terkenang sepanjang hayat, atau bahkan berubah hidupnya menjadi
lebih baik karenanya.
Masih tentang Imam Asy
Sya’bi, di saat lain beliau sedang berjalan bersama sang istri pada suatu
keperluan, ketika seorang jahil mencoba mengusilinya. “Ya Imam”, kata orang
itu, “Siapa nama istri Iblis?”
Imam Asy Sya’bi menoleh ke
arah si penanya dengan wajah bingung, lalu menjawab, “Waduh. Kami tidak
diundang ke walimahnya.”
Lucu
barangkali pula menjadi tingkah pengakrab hati dengan para objek dakwah, juga
laku mulia agar tak terjebak membalas hal buruk dengan yang lebih buruk. Dengan
lucu yang tanpa dusta dan tak merendahkan sesama, kemanusiaan jadi cerah
berwarna.
Salim Afillah, Penulis
Buku dan Motivator
Sumber : www.salimafillah.com
Post a Comment