Mereka yang Dijauhi Barakah


Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Alangkah merugi orang sombong yang atas sebab kesombongannya, hilanglah barakah dari hartanya, hilang pula barakah dari kehidupan maupun anak serta keluarganya. Padahal jika barakah sudah tercabut darinya, maka keburukanlah yang tersisa. Apa yang tampak nikmat mendekatkan kepada laknat, apa yang menyenangkan mendorongnya untuk terlenakan, dan apa yang menyusahkan membuat ia sulit bersabar. Lupa kepada nikmat yang banyak, mudah kufur nikmat dan bahkan ingkar.
Bersebab sombong yang berurat berakar dalam diri, kesalahan orang mudah membekas dalam hati, meskipun kebaikannya jauh lebih banyak dibandingkan kesalahan dan kekurangannya. Bersebab sombong pula maka seseorang akan mudah marah dan tersinggung. Merasa tersinggung, menganggap dirinya direndahkan hanya karena seseorang tidak memberi perlakuan kepadanya sesuai yang diharap.
Maka alangkah ruginya sombong yang berujung. Di dunia sulit bahagia, di akhirat menerima catatan amal dengan tangan kirinya. Padahal tak ada yang menerima catatan dengan tangan kiri kecuali pertanda musibah besar di depan mata. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ ۜ هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
“Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku”.” (QS. Al-Haqqah, 69: 25 – 29)
Lalu siapakah orang yang sombong itu? Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
“Barangsiapa merasa besar pada dirinya, atau congkak dalam jalannya, dia akan menjumpai Allah ‘Azza wa Jalla dalam keadaan marah besar kepadanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Boleh jadi ada orang yang sombongnya sudah mencapai ubun-ubun, tetapi tidak menganggap dirinya sombong meskipun banyak orang di sekelilingnya, baik dekat maupun jauh, sangat merasakan kesombongannya. Mereka gerah, tetapi yang sombong tak merasa. Bukan hanya karena tidak mau ditegur diingatkan, tetapi ia memang tidak mengetahui dirinya sombong disebabkan terlalu larut dalam kesombongan hingga bagian paling dalam. Maka bagi mereka perlu tanda-tanda fisik yang mudah dipahami, tak pula sulit mengenali siapa sesungguhnya orang yang tidak sombong.
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا اسْتَكْبَرَ مَنْ أَكَلَ مَعَهُ خَادِمُهُ وَرَكِبَ الْحِمَارُ بِالْأَسْوَاقِ وَاعْتَقَلَ الشَّاةَ فَحَلَبَهَا
“Tidaklah sombong orang yang makan bersama pembantunya, menunggangi keledai di pasar, dan memegang pengikat kambing lalu memerah susunya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Jadi, takaran tidak sombong itu ialah jika seseorang ringan hati makan bersama-sama dengan pembantunya di rumah. Luasannya, orang-orang yang ia pandang sederajat dengan para pembantu. Ringan ia duduk bersama mereka bukan karena kampanye Pilkada. Ringan pula hati mereka mengajak pembantunya untuk makan bersama dengan makanan yang sama.
Tanda berikutnya ialah, tak jengah hatinya menunggangi keledai untuk pergi ke pasar, membelanjakan keperluan dapur buat istri serta keluarga. Penyebutan keledai ini merupakan penggambaran kendaraan yang sangat sederhana. Ia tak malu melakukannya, sebagaimana ia tak malu berbelanja berbaur dengan orang-orang yang dipandang biasa.
Adapun tanda ketiga ialah, tak risih dirinya melakukan pekerjaan yang tampak remeh; pekerjaan yang seolah hanya pantas dilakukan oleh pembantu. Ia tak berat memerah sendiri susu dari dombanya. Di negeri dimana kita tak mengenal pekerjaan tersebut, baik yang sangat miskin maupun yang kaya, memerah sendiri susu dari dombanya serupa dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan dapur yang terkesan rendah; menyiapkan untuk dirinya sendiri maupun keluarga, meskipun ia seorang laki-laki yang besar penghasilannya. Ia berbuat bukan karena pelit, tetapi karena ringan hati melayani.
Bagaimana jika pembantu yang bekerja di rumah kita tidak mau makan bersama-sama kita? Sungguh, agama ini pun telah memberi tuntunan yang sangat jelas. Dari Abu Hurairah radhiyaLlahu ‘anhu, Nabi shallaLlahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَلْيُجْلِسْهُ فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَلْيُنَاوِلْهُ مِنْهُ
“Apabila pembantu kalian datang dengan makanan, hendaklah dia mendudukkan pembantunya (mengajak makan bersama). Kalau dia tidak mau, hendaklah pembantu tersebut diberi dari makanan itu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Begitulah agama kita ini menuntunkan. Ini sekaligus menjadi penakar ada tidaknya kesombongan pada diri kita. Agar lebih sempurna, mari kita perhatikan aturan dasar memperlakukan pembantu di rumah kita. Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَطْعِمُوهُمْ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَأَلْبِسُوهُمْ مِنْ لَبُوسِكُمْ وَلا تُعَذِّبُوا خَلْقَ اللَّهِ
“Berikan makan kepada mereka dari apa yang kalian makan. Dan berilah pakaian kepada mereka dari apa yang kalian pakai. Dan kalian jangan mengazab ciptaan Allah.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Jadi, seharusnya apa yang ia masak untuk kita, itu pula yang ia makan. Bukan membedakan dengan memberi makanan yang lebih buruk kualitasnya untuk pembantu. Adapun jika dalam beberapa hal ia tidak menyukai makanan kita sehingga lebih memilih makanan yang berbeda, maka bukan termasuk sikap membeda-bedakan makanan. Sama seperti jika ia sangat menyukai makanan yang kita tidak dapat menyukai, bukan karena murahnya, maka pilihannya untuk menikmati makanan yang berbeda bukan merupakan kesalahan kita, bukan pula karena kita menyelisihi sunnah.
Jika memberi makanan yang lebih buruk kualitasnya merupakan penanda lemahnya iman dan kuatnya kesombongan, maka yang lebih buruk lagi adalah membeda-bedakan perlakuan terhadap orang yang datang kepadanya dalam soal makanan dan tempatnya. Dan gambaran paling jelas tampak dari caranya memperlakukan pembantu. Ia mengkhususkan gelas, sendok, piring dan berbagai hal yang terkait dengan makan dan minum untuk pembantunya dengan perlengkapan yang lebih rendah kualitas maupun penampilannya. Ia khususkan pula makanan yang lebih buruk untuk pembantunya. Ia tidak memberi makanan yang dimakannya untuk pembantu, kecuali hanya jika sudah hampir rusak. Bahkan pada tingkat yang lebih buruk lagi, yang demikian ini pun tidak diberikannya. Orang seperti ini, tak diragukan lagi keburukan akhlak dan agamanya, meskipun ia menggemarkan diri berbicara agama di hadapan orang lain. Na’duzubiLlahi min dzaalik.
Begitu pun dalam hal pakaian, berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai (وَأَلْبِسُوهُمْ مِنْ لَبُوسِكُمْ). Jangan memberikan kepada mereka pakaian khusus yang dengannya menjadikan mereka segera dikenali sebagai pembantu, sehingga orang cenderung membedakan dan memandang lebih rendah. Sebagian tidak merasa merendahkan, tetapi intinya tidak ingin orang lain menganggapnya sama atau sederajat dengan pembantu.

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting
Foto Budi CC LINE
Powered by Blogger.
close