Romantisisme Ilmu dan Ikhtiar Menjadi Hamba Bermanfaat

Oleh : MASYKUR SUYUTHI
NO ONE remembers who came in second. Disadari atau tidak, ungkapan Walter Hagen ini sering berubah jadi mantra. Seperti ada jimat yang ditakuti tuahnya. Dalam sekejap, ia mampu menyulap orang saling berebut menjadi nomor satu. Asumsi orang, seolah-olah yang hebat itu cuma si nomor satu. Yang lain tak perlu diingat apalagi diperhatikan.
Pastinya tidak demikian. Sebab di banyak tempat, tak jarang manusia justru lebih terkesan pada sisi lain di luar kehebatan atau prestasi. Kala reuni dengan teman-teman semasa kecil atau sekolah, misalnya. Kadang yang ditanya dan diingat bukan siapa yang ranking satu di sekolah. Tapi soal kekonyolan dan kehebohan dulu selama belajar atau kuliah.
Ini bukan soal legitimasi bolehnya orang itu melanggar aturan kebanyakan. Tidak. Tapi pesan positifnya, bahwa orang tersebut jangan mau stress hanya karena merasa kurang di satu hal saja. Padahal nyatanya, celah kebaikan begitu berlimpah di sekitarnya.
Lalu, kenapa mesti galau? Sedang ibadah dan amal shaleh untuk meraup pahala kebaikan itu bertabur dimana-mana. Bahkan nyaris tak terkira dengan karunia yang telah ternikmati selama ini.
Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw) mengajarkan tentang konsep manusia. Sabdanya: “Manusia ibarat barang tambang berharga seperti tambang emas dan perak. Orang yang mulia pada masa jahiliyah, akan menjadi orang yang mulia juga dalam Islam apabila ia berilmu. Ruh ibarat pasukan yang dikumpulkan, ia akan bersatu jika serasi dan akan berselisih jika tidak serasi,” (Riwayat Muslim).
Yakni setiap orang terlahir dengan ragam potensi dan keadaan. Ada kurang ada lebih. Ada cerdas ada yang bodoh, ada yang hidupnya mapan adapula yang selalu merasa sempit, dan sebagainya. Itu semua adalah nikmat dan karunia yang patut disyukuri.
Soal kemampuan dan kecenderungan serta karakter yang berbeda. Itulah romantisisme. Asal ia mau belajar dan terus mengupayakannya. Sehingga apapun situasi dan keadaannya, setiap manusia tetap berpeluang menjadi Mukmin yang baik. Bahkan itu wajib dan hukumnya fardhu ‘ain.
Lebih jauh, sistem pendidikan yang benar seharusnya mengantar demikian itu. Bahwa yang pokok dari tujuan pendidikan adalah menjadikan setiap output yang dilahirkan menjadi manusia yang baik (a good man) atau manusia beradab (insan adabi). Bukan sekadar meluluskan alumninya menjadi warga negara yang baik (a good citizen) atau jadi pekerja yang baik (a good worker).
Manusia yang beradab mencakup semua aspek dan urusan yang lebih luas dibanding jika dibatasi hanya sebagai warga negara atau pekerja yang baik. Bahwa apapun pekerjaan atau profesinya, mereka tetap sebagai manusia yang beradab dan berkompetensi akhlak yang luhur.
Dengan pemahaman di atas, setidaknya diharapkan akan terbangun jiwa optimis dari setiap Mukmin. Mereka sadar, masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban selama menjalani kehidupan. Tidak sekadar sebagai beban hidup di tengah masyarakat. Namun justru terpanggil untuk senantiasa memberi kontribusi dan berbagi manfaat kepada sesama.
Sebab yang jadi ukuran ternyata bukan sekadar besarnya nominal yang diberikan atau gengsi kontribusi. Namun lebih kepada usaha yang dikerjakan dan nilai pengorbanan. Soal perbedaan kontribusi. Itulah romantisisme ilmu. Bahwa tak semua mesti jadi ulama atau jadi mufti yang memberi fatwa soal agama, misalnya. Tapi semua orang wajib beradab dan bermanfaat.
MASYKUR SUYUTHI, Pendidik dan Wartawan
Powered by Blogger.
close