Berbincang Saat Makan
Oleh
: Mohammad Fauzil Adhim
Ada
yang semasa kecil diajarkan untuk tidak berbicara saat makan. Hening, sunyi
hingga makan selesai. Kebiasaan ini berlanjut hingga dewasa karena memang
demikianlah yang dicontohkan.
Ada pula yang belajar bahwa makan bersama adalah saat berbincang, merajut kedekatan berbagi cerita sekaligus saling bertutur menyampaikan kebaikan. Maka lauk sederhana pun tetap syahdu dan membangkitkan rindu karena kebersamaan saat makan, lebih berharga dibandingkan apa yang tersaji. Adapun tatkala terhidang makanan istimewa, nikmatnya makan tetap terasa, rasa syukur pun memenuhi dada, tetapi tidak menghilangkan bincang. Justru bincang saat makan itu agar yang menjadi perhatian terpenting kita bukanlah pada tana’um; sibuk bernikmat-nikmat, berorientasi pada kenikmatan.
Lalu apa sebab kita berbincang saat makan? Ikhtiar meraih barakah, mengikuti jalan RasuluLlah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Banyak riwayat yang dapat kita petik pelajarannya mengenai hal ini, di antaranya adalah sebagaimana disebut dalam hadis riwayat Muslim:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِىَّ سَأَلَ أَهْلَهُ الأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلاَّ خَلٌّ. فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah bahwa Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam meminta pada keluarganya lauk-pauk, lalu keluarga beliau menjawab, “Kita tidak memiliki apa pun kecuali cuka.” Maka beliau pun meminta cuka tersebut, lalu makan dengannya seraya bersabda, “Lauk yang paling baik adalah cuka, lauk yang paling baik adalah cuka.” (HR Muslim).
Ada pula yang belajar bahwa makan bersama adalah saat berbincang, merajut kedekatan berbagi cerita sekaligus saling bertutur menyampaikan kebaikan. Maka lauk sederhana pun tetap syahdu dan membangkitkan rindu karena kebersamaan saat makan, lebih berharga dibandingkan apa yang tersaji. Adapun tatkala terhidang makanan istimewa, nikmatnya makan tetap terasa, rasa syukur pun memenuhi dada, tetapi tidak menghilangkan bincang. Justru bincang saat makan itu agar yang menjadi perhatian terpenting kita bukanlah pada tana’um; sibuk bernikmat-nikmat, berorientasi pada kenikmatan.
Lalu apa sebab kita berbincang saat makan? Ikhtiar meraih barakah, mengikuti jalan RasuluLlah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Banyak riwayat yang dapat kita petik pelajarannya mengenai hal ini, di antaranya adalah sebagaimana disebut dalam hadis riwayat Muslim:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِىَّ سَأَلَ أَهْلَهُ الأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلاَّ خَلٌّ. فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah bahwa Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam meminta pada keluarganya lauk-pauk, lalu keluarga beliau menjawab, “Kita tidak memiliki apa pun kecuali cuka.” Maka beliau pun meminta cuka tersebut, lalu makan dengannya seraya bersabda, “Lauk yang paling baik adalah cuka, lauk yang paling baik adalah cuka.” (HR Muslim).
Imam Nawawi rahimahuLlah Ta’ala berkata dalam syarahnya, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk berbicara ketika makan, untuk membuat suasana akrab bagi orang-orang yang ikut makan.”
Beliau juga menjelaskan dalam Al-Adzkarun Nawawiyah, “Bab dianjurkannya berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyaLlahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.”
Jadi, kalau sekarang banyak orangtua mengeluh anak-anaknya pelit bicara, ngobrol pun enggan, jangan-jangan karena meja makan kita hanya berisi makanan. Tidak berisi gagasan maupun cerita yang dapat saling kita tuturkan. Tidak pula menjadi saat untuk saling sapa dan memberi perhatian. Padahal kalau sekedar makanan, tak perlu meja yang tersusun rapi. Makanan mudah kita beli, tetapi bukan suasana makannya.
Really, money can buy food, but not eat.
Mohammad
Fauzil Adhim, Penulis Buku
Post a Comment