Orang yang Paling Cerdas
Oleh : Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi.
Suatu
ketika, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya
seorang lelaki Anshar, “Wahai Nabiyullah, siapakah orang yang paling cerdas
itu?” Rasul menjawab, “Ia adalah orang yang paling banyak mengingat mati, dan
paling banyak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Merekalah
orang-orang yang bijak. Mereka adalah orang-orang yang membawa kemegahan dunia
dan kemuliaan akhirat.” (HR Ath-Thabrani). Mempersiapkan diri menghadapi
hari kepergian dari dunia—Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi (2012)
mendeskripsikan hari kepergian sebagai hari ketika seorang hamba tidur di atas
papan pemandian; pada saat itu lidahmu akan berkata, “Di manakah suara
lantangmu, apa yang membisukanmu? Di manakah aroma wangimu, apa yang
membusukkanmu? Di manakah pendengaranmu, apa yang menjadikanmu tuli?—disebut
Ali bin Ali Thalib radhiyallahu’anhu sebagai satu dari empat ciri utama
dalam definisi orang yang bertakwa, selain takut kepada Dzat Yang Maha Perkasa,
mengerjakan apa yang diturunkan, dan puas dengan rezeki yang sedikit.
Muslim
yang cerdas jika disebut kematian, ia mengambilnya sebagai nasihat dan pelajaran
berharga dari kematian, menjadikannya sebagai pendorong untuk tobat dan beramal
sholih, menyesali atas segala dosa yang telah dilakukan di masa lalu dan
bertekad bulat untuk tidak mengulanginya. Muslim yang cerdas tidak pernah lupa
mengingat mati sedikit pun, selalu melihat kematian di hadapan mereka, dan selalu siap untuk mati kapan saja
datangnya. Muslim yang cerdas mengetahui hakikat hidup di dunia dan hakikat
hidup di akhirat—lebih banyak rindu pada kehidupan akhirat, menunggu kematian
dengan hati membara.
Jika
hidup sampai sore, muslim yang cerdas bersyukur kepada Allah Ta’ala atas ketaatan yang dilakukannya
dan bergembira karena tidak menyia-nyiakan waktu siangnya—bahkan menggunakannya
sebaik-baiknya dan menyimpannya sebagai tabungan amal bagi dirinya. Begitu juga
ketika pagi tiba, muslim yang cerdas bersyukur atas ibadahnya tadi malam. Jika
tetap hidup, ia juga senang karena akan terus menambah bekal dan baginya
kehidupan adalah tambahnya bekal. Jika mati, muslim yang cerdas akan sangat bahagia
dan merasa beruntung karena kematian adalah saat dia bertemu dengan kekasih
sejatinya, Allah Ta’ala. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Hudzaifah ketika didatangi kematian, “Kekasih datang atas
kekurangan di mana aku tidak selamat dari penyesalan. Ya Allah, jika Engkau
tahu bahwa kefakiran lebih aku sukai daripada kekayaan, sakit lebih aku sukai
dari sehat, dan mati lebih aku suakai dari hidup, maka mudahkanlah kematianku
sehingga aku bertemu dengan-Mu.”
Muslim
yang cerdas memakmurkan akhiratnya dengan memperbanyak shalat, puasa, qiyamul
lail, jihad, menyibukkan diri ibadah, mengorbankan hartanya untuk
memperjuangkan dan menyebarkan Islam.
Muslim yang cerdas tidak gentar menghadapi kematian dan tidak pernah lari dari
medan peran—bahkan sangat merindukan kematian agar segera bertemu dengan
saudara-saudaranya yang telah terlebih dahulu masuk surga. Bilal bin Rabah
adalah salah satu contoh nyata dari personifikasi muslim yang sangat merindukan
kematian. Ketika merasakan sakitnya sakaratul maut dan pingsan, kemudian
istrinya menangis dan berkata, “Oh, alangkah sedihnya! Oh, alangkah susahnya!”,
setelah siuman dari sekarat, Bilal berkata, “Katakanlah, ‘O, alangkah rindunya!
O, alangkah bahagianya. Besok bertemu Muhammad dan sahabatnya.”
Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyuruh kita memperbanyak kematian. “Perbanyaklah mengingat penghancur
kelezatan yaitu kematian. Karena itu akan menghadapkan pada amal taat dan
mencegah dari maksiat!” Ziarah kubur, menjenguk orang sakit, memandikan
jenazah, menshalati jenazah, bertakziyah kepada orang mati, mengingat kematian
dan keadaan orag mati, pendek angan-angan dan berpikir akan datangnya kematian
yang tiba-tiba, menurut Abdul Qadir Abu Faris (2006) sebagai perkara yang dapat
mengingatkan kita kepada kematian, melunakkan hati, menumbuhkan dalam jiwa
manusia rasa takut kepada Allah Ta’ala
dan azab-Nya, juga rasa ‘raja kepada Allah Ta’ala
dan nikmat-Nya. Bersiap diri untuk hidup di alam barzakh setelah mati dan hidup
di kampung akhirat, usaha manusia menyelamatkan diri dari neraka dan selamat
masuk surga, ini semua merupakan jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Sebagai
penutup, Salman Al-Farisi berkata, “Ada tidak orang yang membuatku takjub
sampai membuatku tertawa: Orang yang berharap dunia padahal kematian
memburunya, orang yang lalai padahal kematian tidak melalaikannya, dan orang
yang tertawa memenuhi mulutnya padahal ia tidak tahu apa Tuhan murka atau ridho
kepadanya.”||
Penulis : Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi., Pimpinan Redaksi Majalah Fahma , Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia
Foto : Google
Post a Comment