Sumpit


Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

1987. Waktu itu saya kelas 3 di SMP Negeri Kutorejo, sebuah wilayah kecamatan yang cukup ndeso di kabupaten Mojokerto. Banyak desa yang belum teraliri listrik dan bahkan sambungan telepon pun tidak ada. Kawasan yang tidak bersentuhan dengan kedua jenis kabel ini, yakni kabel telepon maupun listrik, biasa disebut dengan istilah adoh kawat alias jauh dari kawat. Dari SMP kampung itulah saya berangkat ke kota mengikuti final lomba menulis yang diadakan oleh Departemen Agama (Depag) yang sekarang berganti sebutan menjadi Kemenag.

Ada tiga finalis tingkat SLTP. Seorang finalis laki-laki diantar gurunya, sedangkan saya diantar oleh kakak sepupu saya. Bukan dari pihak sekolah. Satu lagi finalis, seorang perempuan, rupanya bukan sembarang orang yang mengantar. Sudah akrab dengan panitia. Bergiliran dipanggil untuk wawancara dan saya pun akhirnya mendapat bagian. Tetapi hingga wawancara selesai, saya merasa tidak ada pertanyaan yang relevan dengan isi tulisan, kecuali alasan memilih judul “Pengaruh Ulama Kharismatik dalam Perolehan Suara Kontestan Pemilu”. Sementara menurut pewawancara, topik yang seharusnya bukan itu.

Keluar ruangan, saya segera menjumpai finalis yang laki-laki. Saya ingat sekali perkataan saya waktu itu, “Kamu akan menjadi juara dua, Mbak itu akan jadi juara satu dan saya juara tiga. Tetapi kalau kamu mau, kamu bisa menjadi juara satu di luar lomba. Dan saya akan melakukannya.”

Benar saja, saya menjadi juara tiga dengan hadiah sebesar 50 ribu rupiah yang sampai sekarang tidak pernah saya terima. Tetapi sometimes an accident is not accident at all. Kadangkala apa yang tampaknya sebagai musibah, sama sekali bukanlah musibah. Sebagaimana saya sudah menduga bakal juara 3 hanya karena pertanyaannya banyak yang tidak relevan, maka tidak sampainya hadiah ke tangan bukanlah duka cita yang besar. Kesempatan untuk terpilih dalam final sudah lebih dari cukup bahwa saya dapat berusaha berkarya lebih serius.

Begitu usai lomba, saya minta antar kakak saya untuk beli sumpit. Senyampang ada kesempatan ke kota, maklum orang kampung. Saya bilang sama Misbah, kakak sepupu saya itu, “Barangkali kapan-kapan saya harus makan pakai sumpit. Mungkin suatu saat bisa ke luar negeri.” Dia pun mengantarkan dengan senang hati. Dia pula yang mengajari saya makan pakai sumpit.

Sampai sekarang saya belum menjadi penulis terbaik. Saya hanya menghasilkan beberapa karya sangat sederhana. Tetapi ada pelajaran berharga. Bagaimana kita memaknai kegagalan maupun kesuksesan di suatu masa akan sangat mempengaruhi perjalanan selanjutnya. Kalau saya terbawa perasaan akibat proses yang terasa aneh dan hadiah yang tak pernah sampai ke tangan, barangkali saya tidak akan dapat menghasilkan buku yang paling sederhana sekalipun. Padahal yang mengambil hadiah saya itu, tidak akan ambil pusing terhadap apa yang saya alami. Tetapi ketika saya lebih mensyukuri kesempatan untuk sampai ke final dan mengikutinya dengan kesungguhan, maka ada karya-karya yang dapat saya tulis.

2017. Pagi ini di Nagoya, Jepang, tepat 30 tahun sesudah lomba itu berlalu. Mas Mustofa menyajikan hidangan sarapan pagi, lengkap dengan sumpitnya. Ingatan saya pun melayang ke masa ketika saya belajar makan menggunakan sumpit. Proses belajar yang turut mengiringi saya berlatih menulis, di sela-sela kegiatan menikmati bacaan bergizi dari berbagai buku.

Saya bersyukur ketika itu Allah Ta'ala karuniakan guru, teman-teman sekolah terutama di kelas 3G SMP Negeri Kutorejo, ibu serta keluarga yang memberi dukungan emosional dan sosial kepada saya sehingga terus belajar berkarya. Saat-saat dimana teman-teman memberi kesempatan untuk baca puisi atau berbagi karya, ternyata sangat bermanfaat. Antusiasme mereka jauh lebih berharga dibandingkan hadiah uang yang dijanjikan dalam lomba.

Belum banyak buku yang saya tulis.Semoga dari yang sedikit itu Allah Ta'ala jadikan bermanfaat dan barakah.

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku Segenggam Iman Anak Kita
Powered by Blogger.
close