Harga Pertemuan
Oleh : Aya Faina
“Pray For Paris!”
Tulisan itu ada dimana-mana hari ini.
Dunia kembali dihebohkan dengan insiden penyerangan di kota Paris. Ratusan
orang tewas dan terluka. Lagi-lagi kaum muslimin jadi kambing hitam. Media
sosial pun ramai memperbincangkan. Para manusia berduyun-duyun mengganti foto profilnya
dengan tagar Pray For Paris lengkap
dengan background berwarna merah,
putih, dan biru khas bendera Perancis.
Pukul 20.30 jalanan ramai oleh para
pekerja yang akan pulang setelah seharian bekerja. Puluhan orang pejalan kaki
menunggu lampu merah berganti hijau, lantas menyebrang. Setelah berjalan seratus
meter, Aisye menuruni tangga menuju stasiun kereta bawah tanah.
“Bagaimana menurut
Anda dengan bom Paris yang belum lama ini terjadi?” seorang pembawa acara
bertanya.
Breaking
news. Sejak
tadi malam orang-orang membicarakannya. Media sosial pun diramaikan oleh tagar.
“Menurut saya itu
kabar buruk.”
“Kabar buruk?”
“Ya. Kamu tahu, belasan
tahun lalu, pasca tragedi serangan 911 gedung kembar WTC, kebencian terhadap
kaum muslim mulai membara. Setelah insiden ini dapat dipastikan angka islamophobia akan meroket,” seseorang
dengan pakaian rapi menjawab pertanyaan. Dia narasumber acara breaking news.
Aisye
asyik menatap layar televisi di dinding. Dia segera memasuki gerbong, kereta
akan melaju lima menit lagi. Lorong kereta terlihat lengang. Gadis itu
memeriksa lengannya, jam tangan berdiameter 2 sentimeter ditanam di pergelangan
tangannya menunjukkan pukul 20.48
Ada
sepuluh gerbong di kereta itu, semuanya dipenuhi oleh pekerja dan pelajar
sekolah. Seorang wanita negro berambut ikal menatapnya dengan sinis. “Mereka
seharusnya tidak disini! Kamu beruntung aku tidak bekerja di bagian imigrasi!
“Gara-gara
orang seperti kalian, mati,” seoorang wanita tua berambut pirang meludahinya.
Hal seperti ini biasa bagi Aisye. Wanita 22 tahun ini telah hidup di Inggris
selama sembilan tahun.
Dulu
pernah ada gerombolan laki-laki, tanpa alasan memukulnya di jalan. Mereka
membenci Aisye, karena ia mengenakan kerudung dan jilbab. Mereka mengancam akan
membunuh gadis itu, jika berani melapor pada polisi.
Wanita
paruh baya itu mulai kehilangan kontrol. Dia terlihat begitu stres. Lengannya
naik, telapak tangan menuju pipi mulus Aisye.
“PLAKK!”
Satu
tamparan mendarat di wajah gadis malang itu. Penumpang lain bersikap acuh. Saat
tamparan kedua akan menyusul, seorang pemuda berkebangsaan Turki menahannya,
entah sejak bila dan darimana datangnya.
“Kau
pikir dengan memukulnya, bisa menghidupkan anakmu kembali?”
“Memang
tidak, tapi aku akan akan puas setelah melampiaskan amarah padanya!”
“Apakah
kau mengenalnya?”
“Tidak,
akan tetapi aku membencinya.”
“Apa
salahnya?”
“Kesalahnnya
adalah dia muslim, berhijab, dan tinggal di kota ini.”
Pemuda
itu mengambil ponselnya, lalu memotret perempuan itu. “Tunggu saja, tak lama
lagi akan ada laporan tentangmu dikantor polisi.”
Wanita
itu mulai pucat dan meninggalkan mereka.
“Apa
kau baik-baik saja?” sapa pemuda usia 28 tahun itu.
Aisye
terdiam, jarang sekali dia berbicara dengan lelaki. Bibirnya kelu. Ada segaris
perasaan halus menembus hatinya. Senyuman pemuda itu semanis kurma, sejenak ia
terpana. Gadis itu beristighfar dalam hati.”
Melihat
gadis dihadapannya membisu, pemuda itu mengulurkan sebotol air. “Minumlah!”
“Te..terima
kasih!” Aisye tak menyambut uluran itu.
“Perkenalkan
namaku Musab, siapa namamu?
“Aku
tak terbiasa bicara dengan lelaki asing,” gadis itu masih menundukkan kepala.
Langit semakin gelap.
“Baiklah,
aku akan duduk tiga kursi ujung sana. Semoga tak ada lagi yang mengganggumu!”
“Tunggu!”
Gadis itu menghentikan langkahnya.
Musab menoleh, “Ada apa?”
“Apa kau serius akan melapor ke polisi?”
“Menurutmu?”
“Tak perlu.”
“Kenapa?”
“Dia tak bersalah, hanya saja sedang merasakan
kehilangan yang mendalam. Aku hanya tak mau jadi pendendam dan menumpuk
kesedihannya.”
Musab tersentak mendengar jawaban perempuan bermata
hazel yang belum dia ketahui namanya. Memang benar bahwasanya ikhlas itu
tempatnya bukan di lisan. Hujan kian deras.
***
Kini
Aisye hidup dengan kakak perempuannya. Orangtuanya telah meninggal setahun
lalu, dalam perjalanan umroh ke tanah suci. Sejak itu pula kakaknya, Meyra
mulai menanggalkan hijabnya. Dia mulai mempertanyakan eksistensi Tuhan yang
selama ini disembahnya.
“Hari
ini kamu diserang lagi? Sudah berapa kali kubilang, lepas aja kerudung itu. Kamu lebih cantik tanpa
hijab.”
“Aku
masuk kamar dulu.” Bukan apa, untuk saat ini Aisye hanya bisa menghindarkan
diri dari perdebatan alot bersama kakaknya.
Semenjak
kepergian kedua orangtuanya, Meyra tak lagi menjalankan kewajiban sebagai
muslimah. Teman dan lingkungan begitu mempengaruhi jalan berpikirnya. Kini dia
hidup dalam jebakan kebebasan dan menganggap semua agama sama. Agnostik. Dia
percaya bahwa Tuhan itu ada, namun tak tahu manakah yang mesti disembah.
Baginya
Tuhan tak adil. Bertahun-tahun Meyra menjadi muslimah yang baik, menjalankan
wudhu, puasa, hingga sholat lima kali sehari. Namun apa yang dia dapatkan?
Orangtuanya meninggal dalam waktu bersamaan.
Meyra
mulai bosan dan lelah akan rutinitas ibadah hariannya. Selama ini dia lakukan
hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Dan menyenangkan hati orang tuanya.
Tanpa Tuhan, karirnya masih bisa sukses.
“Kak,
sholat berjamaah yuk!” Walaupun sudah tahu jawabannya, Aisye tak pernah bosan
mengajak Meyra untuk menunaikan kewajiban.
“Kamu
lupa? Aku kan nggak sholat. Coba deh kamu berpikir, kita membungkus diri dengan
kain tertutup, kemudian mengucapkan sesuatu meskipun nggak tahu apa yang
katakan. Padahal kita komunikasi sama Allah, apakah ini yang Tuhan mau?”
“Kak
Mey nggak percaya kalau Allah itu ada?”
“Aku
percaya Tuhan, karena nggak mungkin semua ini terjadi kebetulan. Udah, kita
bahas ini kapan-kapan aja. Sekarang kalau kamu mau sholat silahkan, toh aku
nggak larang.”
***
Gerimis.
Rintik air mulai menyembah bumi. Aisye mendongak, menyambut titik air dari
langit. Andai saja hari ini libur, pasti dia habiskan waktu di loteng untuk
bermesraan dengan hujan. Matanya tertutup menikmati rinai hujan yang menetes
diwajahnya. Saat membuka mata, nampak di seberang jalan stasiun pemilik senyum
semanis kurma itu berdiri membelakanginya.
Jantungnya
bergoncang hebat, apa yang harus dia lakukan? Haruskah berbalik arah dan
menaiki angkutan lain? Akan tetapi, hal itu hanya akan membuang waktu. Gadis
itu menghela napas panjang. Dia tundukkan kepala dan pura-pura tak melihat
keberadaan pemuda tersebut.
foto google
foto google
Post a Comment