Menghadapi Epidemi dan Pandemi dengan Ilmu Ulama

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
(Ayah dari 7 anak, orang awam yang kunjung berilmu)

Beliau menulis kitab syarah Shahih Bukhari yang sangat terkenal, Fathul Bari judulnya. Inilah kitab yang paling otoritatif dalam memberikan syarah Shahih Bukhari. Saya tidak tahu adakah dari kita yang telah membaca hingga tuntas, memahami dan menghafalkannya. Padahal Fathul Bari hanya salah satu karyanya di antara 270 kitabnya. Sebagian ulama kontemporer menyebutkan bahwa berdasarkan riset, kitab yang ditulis ada 282 judul. Belum termasuk yang belum dicetak.

Dialah Al- Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani. Sebutan Al-hafizh bukan karena hafal Al-Qur’an karena pada masa itu gelar al-hafizh hanya bagi mereka yang hafal ratusan ribu hadis beserta sanadnya. Hafal di dalam kepala. Bukan hafal di luar kepala yang apabila data internet habis, hilang hafalannya. Gelar lain yang disematkan kepadanya adalah Syaikhul Islam.

Di antara kitab yang jarang disebut, tidak seperti Bulughul Maram yang masyhur, adalah Badzlul Ma’un fi Fadhlith Tha’un (Pemberian Pertolongan kepada Para Penderita Penyakit Epidemik). Buku ini ditulis tahun 819 Hijriyah, 622 tahun silam, setelah beliau kehilangan tiga putri kesayangannya, yakni Fathimah, Zeinah dan Ghaliyah. Ini sekaligus hujjah bahwa epidemi maupun endemi tidak hanya menimpa orang-orang kafir maupun ahli maksiat sebagaimana khayalan beberapa orang yang hafalan hadisnya tidak sampai seperempat, seperempat puluh atau bahkan seperempat-ratusnya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.

Tetapi yang menjadikan beliau menulis adalah permintaan banyak orang kepada beliau hingga kemudian beliau mengumpulkan berbagai dalil serta pendapat para ulama terpercaya mengenai waba’ dan tha’un beserta penjelasan yang mudah dipahami.

Tentu saja kitab yang ditulis oleh Syaikhul Islam Al-Imam Al-hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani sangat terbuka untuk dikritisi dan dibantah jika Anda memiliki hafalan yang lebih banyak dibandingkan beliau, ilmu yang lebih mendalam, dan kitab yang lebih sekaligus lebih otoritatif.

Buku Badzlul Ma’un fi Fadhlith Tha’un sendiri tergolong tipis, hanya 456 halaman, dibandingkan berbagai kitab beliau lainnya, terutama Fathul Bari. Melalui buku tersebut menjelaskan dasar dari sikap beliau yang menolak ajakan untuk melakukan berdo’a bersama, berhimpun di satu tempat bersama muslimin untuk bermunajat, meskipun yang meminta adalah penguasa saat itu. Beliau memilih untuk tinggal di rumah dan membatasi interaksi.

Ada pelajaran penting yang patut kita renungkan dari kitab tipis ini (meskipun menurut saya sangat tebal). Pada tahun 749 Hijriyah terjadi waba’ (endemi) di Syam. Menghadapi itu, muslimin keluar dan berkumpul untuk berdo’a. Setelah itu jumlah korban yang terkena waba’ semakin banyak. 15 tahun kemudian, yakni pada tahun 764 hijriyah, barulah untuk pertama kali para ulama kembali berkumpul. Sebuah masa yang sangat panjang.

Beberapa abad sebelumnya, Mesir pernah mengalami endemi. Ibnu Hajar Al-Asqalani menukil perkataan Al-’Allamah Imam Adz-Dzahabi rahimahuLlahu Ta’ala dalam kitabnya yang bertajuk Siyarul A’lam An-Nubala’ tentang penutupan masjid saat terjadi waba’, “Dan pada tahun 448 hijriyah pernah terjadi bencana kemarau dahsyat yang menimpa Mesir dan Andalusia, beserta periode kekeringan dan waba’ (endemi) sebagaimana yang pernah menimpa Cordoba, hingga yang tersisa ialah masjid-masjid ditutup tanpa ada yang shalat di dalamnya. Masa ini dinamai Tahun Kelaparan yang Besar (The Great Famine Year).”

Endemi terjadi lagi di Mesir pada tahun 833 hijriyah. Dalam sehari, korban yang meninggal dunia mencapai 40 orang. Mereka kemudian keluar dan berkumpul untuk berdo’a, melakukan istighatsah dan setelah itu jumlah korban yang meninggal dunia semakin banyak. Bahkan mencapai 1000 setiap harinya.

Seribu. Per hari. Dari awalnya empat puluh. Lonjakan yang luar biasa besar.

Karena itulah, Syaikhul Islam Al-Imam Al-hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menegaskan sikapnya berdasarkan hujjah yang kuat, sejalan dengan sebagian ulama di masa itu yang memfatwakan larangan keluar berkumpul, meskipun dimaksudkan untuk berdo’a dan ibadah pada saat terjadi waba’. Larangan keras ini difatwakan karena khawatir waba’ semakin meluas-mengganas. Dan andaipun tidak, dikhawatirkan orang-orang berburuk sangka bahwa do’a para ulama dan orang-orang shalih tidak dikabulkan.

Ulama dari madzhab Syafi’i ini menegaskan bahwa berkumpul di lapangan saat terjadi waba’ tha’un dengan didahului puasa tiga hari, lalu shalat bersama sebagaimana orang melakukan shalat Istisqa’ untuk meminta hujan, merupakan perbuatan bid’ah yang sangat tercela.

Ini bukanlah gambaran utuh tulisan beliau. Bagi yang ingin mengambil faidah dari kitab tersebut, juga bagi orang-orang yang merasa lebih tinggi ilmunya dan yakin lebih kuat imannya dibandingkan Syaikhul Islam Al-Imam Al-hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani sehingga ingin menulis kitab bantahan yang lebih baik, dapat langsung mengkaji kitab aslinya beserta berbagai kitab lain yang membahas persoalan serupa.

Wallahu a’lam bish-shawab. Hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang memiliki sesempurna-sempurna ilmu dan Dialah yang menggenggam segala rahasia dari setiap urusan. 

Ketika hujan berlalu di kampung Karangjati, 23 Maret 2020. Ditulis dengan segenap kekurangan dan kefakiran ilmu.
Powered by Blogger.
close