Sekolah yang Mencerdaskan
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Mencerdaskan anak bukanlah tugas utama sekolah. Tugas sekolah adalah
membentuk pribadi yang memiliki integritas moral sangat tinggi, berakhlak mulia
dan produktif yang berpijak pada fondasi akidah. Bersebab pada kuatnya akidah,
sekolah juga berkewajiban membakar semangat mereka sehingga akan lahir pemuda‐pemuda yang hidup jiwanya dan jelas arah hidupnya. Begitu mereka
memiliki motivasi yang kuat dan semangat yang menyala‐nyala, maka mereka akan memiliki energi besar untuk mencapai apa
yang sungguh-sungguh bermanfaat baginya. Ia memiliki daya tahan untuk terus
gigih ketika yang lain sudah mulai berguguran. Ia memperoleh makna atas setiap
tindakan yang secara sengaja dilakukannya untuk mencapai apa yang baik dan
penting. Insya‐Allah!
Semangat yang berkobar‐kobar memungkinkan seseorang mencapai tingkat kecerdasan yang tinggi
dan bermanfaat. Saya perlu menambahkan kata bermanfaat, karena kepekaan
terhadap apa yang sungguh‐sungguh
bermanfaat bagi diri sendiri dan umat manusia, hari ini sangat sulit kita
dapati (bahkan mungkin pada diri kita sendiri). Sebab, mereka tidak memperoleh
pengalaman belajar yang secara sengaja menumbuhkan kepekaannya. Alih‐alih mengembangkan kapasitas mental, anak‐anak itu justru mengalami penganiayaan akademik dalam bentuk
pembebanan target‐target penguasaan
secara kognitif materi‐materi pelajaran,
terutama yang menjadi materi ujian nasional. Padahal, penguasaan materi
pelajaran seharusnya merupakan akibat saja dari berkobarnya semangat dan
kepekaan terhadap apa yang bermanfaat bagi umat manusia.
Mengapa anak‐anak tidak peka
terhadap apa yang bermanfaat bagi dirinya? Karena sekolah tidak mengajari
mereka tujuan hidup, empati dan integritas. Mereka juga tidak belajar
merumuskan visi hidup yang jelas. Mereka hanya dipacu untuk berhasil
menciptakan nilai bagus saat ujian. Ironisnya, tidak sedikit orangtua maupun
sekolah yang masih berorientasi pada ujian, sehingga tidak mendorong anak untuk
“belajar” kecuali saat menghadapi ujian.
Mereka tidak mendorong anak haus ilmu dan mengembangkan kecakapan
yang bermanfaat. Apatah lagi alasan yang menggerakkan diri untuk berbuat
sehingga setiap hal jadi bermakna, sangat jarang disentuh.
Para orangtua dan guru sering menyuruh anak belajar agar pintar.
Tetapi mereka tidak mengajarkan untuk apa pintar, atau kepintaran itu
seharusnya dipergunakan untuk apa. Lebih ironis lagi, pintar itu sama dengan
angka 8, angka 9 untuk yang sangat pintar dan 10 untuk yang luar biasa pintar.
Darimana angka itu diperoleh, tidak penting lagi. Dan di sinilah bencana itu
bermula. Anak belajar melakukan penipuan bernama mencontek –satu bentuk
kejahatan yang lebih sering kita sebut kelalaian.
Sudah saatnya kita merenungkan kembali pendidikan kita. Tugas
sekolah adalah mengantarkan anak didik untuk menjadi manusia, mengerti tugas
hidupnya dan mampu memberi manfaat bagi umat manusia. Kita rangsang mereka
untuk mampu memegangi nilai hidup yang menggerakkan mereka untuk bertindak.
Artinya, nilai hidup itu haruslah menjadi daya penggerak bagi hidup mereka.
Bukan sekadar untuk menjadi bahan hafalan yang dicerna secara kognitif belaka.
Lebih‐lebih jika hanya
pada tataran kognitif terendah.
Sekadar menyegarkan ingatan, Benjamin S. Bloom membagi secara berjenjang
kemampuan kognitif dalam sebuah taksonomi yang dikenal dengan Taksonomi Bloom.
Ada enam jenjang, yakni pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis
dan jenjang tertinggi adalah penilaian. Kemampuan taraf terendah lebih mengacu
pada kemampuan mengingat apa yang telah dipelajari secara tepat. Pada taraf
ini, meskipun kemampuan mengingatnya sangat tinggi sehingga mampu menjawab soal‐soal yang diajukan, tidak membuat seseorang mampu memahami prinsip‐prinsip serta mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
sehingga dengan mudah akan mengenali dan menguasai apa‐apa yang prinsipnya sama maupun mirip.
Bimbingan belajar intensif umumnya hanya berurusan dengan kemampuan
kognitif jenjang terendah. Mereka terlihat pandai, tapi membawa resiko serius,
yakni tidak berkembangnya kemampuan kognitif pada jenjang di atasnya. Inilah
yang sebenarnya tidak boleh terjadi! Itu sebabnya sekolah harus berpikir serius
bagaimana memacu prestasi siswa tanpa melakukan penganiayaan akademik, yakni
proses pembelajaran yang hanya memperhatikan kemampuan kognitif terendah
sebagai pembebanan. Sangat berbeda nilainya antara pembebanan dengan motivasi.
Mengejar anjing membangkitkan energi ketika nyaris berhasil. Tetapi dikejar
anjing sangat menguras tenaga dan membunuh antusiasme, justru ketika berhasil.
Tentu saja bukan berarti ujian akhir nasional (UAN) tidak boleh ada.
Jika sekolah memang baik, tidak ada alasan untuk menangis mendengar genderang
UAN ditabuh. Justru kita ditantang untuk menunjukkan bahwa pola pendidikan yang
kita jalankan, mampu mengantarkan siswa meraih sukses secara akademik. Nilai
ujian memang tidak boleh menjadi tujuan. Ini musibah besar kalau siswa belajar
di sekolah selama enam atau tiga tahun hanya untuk mengejar nilai tiga mata
pelajaran. Tapi UAN merupakan parameter sederhana seberapa baik kita menanamkan
dasar‐dasar kemampuan
akademik pada siswa. Artinya, prestasi cemerlang di UAN hanyalah konsekuensi
logis pendidikan yang baik.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar anak‐anak memiliki visi hidup yang kuat? Apa yang harus kita rombak dalam
proses pendidikan di sekolah? Apakah perlu melakukan reformasi total pada
sistem pendidikan kita?
Tidak. Reformasi tanpa melakukan perubahan cara
pandang dan sikap, hampir pasti tidak akan membawa hasil yang memadai. Perlu
upaya terencana untuk mengubah cara pandang dan sikap pelaksana pendidikan
secara keseluruhan, terutama guru, tidak terkecuali orangtua sebagai bagian
yang tak terpisahkan.||
Penulis : Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku Segenggam Iman Anak Kita
Foto : Google
Post a Comment