Againts Covid-19: Antara Wabah dan Cinta

“JIKA kalian mendengar tentang tho’un (wabah menular) di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ, maka janganlah keluar karena lari dari tho’un tersebut.” (HR. Bukhari-Muslim)
Prinsip menghadapi wabah yang diajarkan Rasulullah saw tampak jelas dan tegas. Tapi dasarnya adalah cinta. Tanda cinta adalah peduli.
Pesan cinta dalam larangan masuk bagi yang berada di luar area wabah adalah agar dia tidak tertular, sehat dan selamat. Orang yang sakit itu tidak akan dapat menikmati karunia dan kalau sampai mati berarti tidak lagi dapat beribadah.
Dan kalau sudah tertular, pasti akan menulari. Wabah semakin meluas. Karena itu, ”Larilah dari orang yang kena kusta (penyakit menular) sebagaimana engkau lari dari singa,” tegas Nabi saw.
Tidak perlu nekat dan berlagak. Itu bukan bentuk heroism, tapi egoisme yang hanya akan menyulut amarah orang sekitar. Jika amarah berkuasa, maka cinta dan ukhuwah akan melemah.
Sedangkan pesan cinta bagi yang berada di dalam wilayah wabah adalah:
Pertama, agar tidak menulari yang lain. “Jangan membawa onta yang sakit ke kawanan onta yang sehat,” qiyas Nabi saw. Kalau kaidah ini dilanggar, bisa bangkrut dan bubar dari tingkat keluarga hingga negara.
Cinta itu menyatukan, bukan membubarkan. Karena itu dengan keras Rasulullah saw bersabda, “Orang yang lari keluar dari (wilayah) wabah tho’un seperti orang yang lari dari medan pertempuran”. Lari dari medan pertempuran itu termasuk dosa besar.
Kedua, agar yang mampu dan yang sehat menolong yang tidak mampu dan merawat yang sakit. Andai saja diberi kelonggaran pilihan untuk keluar, maka pasti yang merasa mampu dan merasa sehat akan meninggalkan wilayah itu, karena memang tidak ingin tertular.
Sedang yang tidak mampu dan yang sakit akan tetap tertinggal. Yang mampu keluar nanti akan mengatakan, “Seandainya kita tetap di dalam, kita pasti akan tertular.” Sedang yang tidak mampu keluar akan mengatakan, “Andai kita bisa keluar, tentu kita tidak akan tertular”.
Tentu saja hal itu akan membuka peluang bagi setan untuk melahirkan egoism dalam diri yang mampu dan membunuh semangat hidup dalam diri yang tidak mampu. Rasa iri mulai tumbuh. Jika rasa iri semakin membesar, cinta dan ukhuwah melayu.
Ketiga, dalam salah satu haditsnya di atas Rasululllah saw menyamakan prinsip menghadapi wabah ini dengan prinsip berperang melawan musuh. Dalam menghadapi musuh ini ada tiga pilihan sikap yang bisa diambil. Pertama, lari dari medan. Apakah dengan lari ada jaminan untuk selamat ? Tidak. Kedua, menyerah kepada musuh. Apakah dengan menyerah ada jaminan untuk selamat ? Tidak. Ketiga, berjuang sampai ajal menjemput. Apakah pilihan ketiga ini ada jaminan untuk selamat ? Tidak juga.
Tapi pilihan sikap ini penuh kemuliaan. Kalau menang ia dapat memelihara kehidupan atau kalau mati berarti ia mati syahid yang tidak kalah mulianya. Rasulullah saw mengatakan bahwa sesiapa yang tetap bertahan di dalam wilayah wabah, kemudian ia meninggal, atau tetap hidup, maka telah tetap baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mati syahid.
Demikianlah, selalu ada rahmah –cinta-Nya, yang universal untuk seluruh makhluk – dalam setiap tindakan dan putusan-Nya. Rahmah inilah energi yang menggerakkan seluruh alam semesta menuju kesempurnaannya. Dia pun berpesan kepada utusan-Nya : “Dan tidaklah Aku utus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmah bagi seluruh alam.”
Nabi saw kemudian meneruskan pesan cinta ini kepada umatnya dengan berpesan : “La dharara wa la dhirara” – Jangan meminta bahaya dan jangan memberi bahaya.
Dalam kasus wabah ini kita dapat mengadopsi pesan cinta itu dengan mengatakan kepada orang-orang sekitar kita: “Jangan minta ditulari dan jangan menulari”. Agar kehidupan tetap sehat dan lestari.
Sesiapa yang mencintai mereka yang ada di bumi, maka dia akan dicintai mereka yang ada di langit. Wallahu’alam bishshawab. (Sumber: Posdai.or.id)
Powered by Blogger.
close